Kamis, 24 Januari 2008

Mencoba Berbusana Muslimah

Enita Silviana pake Jilbab! Itulah kira-kira rumours yang beredar di sekolah besok. Wah, siapapun pasti bakal terbelalak. Takjub plus heran. Siapa sangka sang primadona sekolah mau pake jilbab. Sayang, khan? kapan lagi bisa berlenggak lenggok di depan puluhan jejaka sekolahan.
Aku tersenyum-senyum membayangkan hal itu terjadi. Sementara ini, kepalaku pusing milih warna yang pas buat kupakai besok di sekolah. Harus dong, besok khan hari pertamaku make kerudung. Jangan sampe kesannya norak apalagi kumuh. Aku tertarik memake kerudung setelah mendengar pengajian di sekolah. Waktu itu, salah satu pengisinya, alumni sekolahku.
Semula aku sih bimbang juga. Masalahnya aku kan aktif di seabrek-abrek kegiatan sekolah. Kalau nanti pake kerudung, jangan-jangan aku nggak bakalan bisa aktif lagi. Untung Tia, dedengkot pengajian putri, ngasih jalan keluar.
"Vi, kalo kita pake jilbab, bukan berarti kita jadi tertutup. Kita tetap saja berlaku seperti teman-teman yang lain, tapi tentu ada aturannya dong. Seperti nggak boleh pacaran atau maen sama anak-anak cowok" katanya dua hari yang lalu.
"Aih, Vi, jadi juga kamu pake kerudung, Alhamdulillah smoga kamu makin disayang Allah, Vi" komentar temanku macam-macam sambil memeluk dan sun pipi. Ada yang seneng, haru dan bahagia kayak anak-anak pengajian. Ada juga yang sirik, nuduh macem-macem, ada juga yang tenang-tenang aja. Bangga sekali rasanya diperhatiin orang. Emang sih, selama ini aku pusat perhatian orang, apalagi mahluk yang namanya cowok. Suka usil manggil-manggil namaku. Tapi kalo skarang rasanya beda, diperhatiin karena kerudungku. Jam pertama pelajaran agama, lagi-lagi aku diperhatiin bu Aisyah, guru agamaku. Dia seneng banget kalo aku pake jilbab. Pernah dulu, sewaktu aku masih belum berkerudung, dia ngasih komentar, "Vi, kalo kamu pake jilbab, pasti deh kamu makin cantik dan disayang Allah"
"Assalamu'alaikum. bu Haji" suara bass dari balik punggungku mengagetkanku hingga bakso yang hampir kutelan jatuh ke mangkuk. Aku menoleh ternyata si Ronald.
"Aduh, ibu Haji kaget ya? maafin ye?" Ronald tampangnya emang enak diliat, sekilas mirip Dean Cain pemeran Superman di serial teve. "Walaikum salam" jawabku sambil mengelapkan tissu ke bibir. Ronald langsung di bangku kayu panjang itu. Sempet-sempetnya dia ber'hai-hai' dengan pengunjung cewek lain. Ronald memang akrab sama siapa saja kalo nggak dibilang populer.
"Tumben, ke sini, biasanya elu nongkrong di warung soto" ucapku sambil nggak noleh.
"Aduh, Honey baru dikagetin gitu aja, kamu marah afwan deh" jawabannya bikin aku kaget.
"Eh, dapet dari mana tuh, kata afwan?" "Kursu dong sama anak-anak masjid" dasar slengean, dia cuma ketawa. Aku nggak kalah gertak. "Kamu pikir kamu bisa beli cinta gue pake kursus segala?" kataku pura-pura ketus. Ronald nggak kecut, ketawanya malah makin keras sampe pengunjung yang laen ngelirik. "Honey, kamu masih ngganggap aku musuh. Aku kan sudah umumkan 'chase fie'. Masak sih kamu nggak mau baikan. Orang pemaaf itu besar pahalanya lho?" Sialan, pinter juga dia ngecap. Pake istilah pahala segala.
"Trus kamu mau apa?"
Entar malam temanku ulang tahun. Kamu mau kan nemenin?" Aku menetap matanya yang memang teduh itu. Itulah salahnya, aku terhipnotis dan jadi manut aja. Mirip kucing dielus-elus lehernya. "Kamu mau jemput jam berapa?"
"Gitu dong, jam tujuh OK?" dia ketawa seneng. kontan baksoku dibayarnya. "Yuk, honey, kita pulang" ajaknya. Aku segera membenahi buku pelajaran di meja bakso itu. Beriringan aku dan Ronald jalan keluar kantin. Sesekali aku bercanda dengan Ronald. Kata-kata 'honey' keluar berulang-ulang. Aku geli juga dengernya, tapi Ronald sih cuek aja. Itu memang kekuatannya. Cuek ditambah lagi nekat dan sok jago. Nggak segen-segen dia berantem kalo ada yang nggak sependapat. Omong soal cuek, Ronald emang gila banget. Kalo dia udah seneng ama cewek, bakal dia uber kemana aja. Termasuk aku yang jadi incerannya. Waktu telepon tiga bulan lau, enteng aja dia bilang "Honey, I love you". Aku yang jadi gemetaran, buru-buru aku tutup telepon itu. Besoknya dia telepon lagi sambil ketawa ngakak ngatain aku chicken alias pengecut. Akhirnya dengan gemas aku tolak mentah-mentah sambil kumaki-maki. Tapi dia terus ketawa. Kupikir dia nggak nelpon lagi, ternyata malah nekat datang ke rumah malam minggu. Aku kelimpungan, tapi dengan proses panjang akhirnya semua bisa dinetralkan.
Dug ! Aku menabrak seseorang. Bukuku berantakan. Ronald buru-buru membantu mengambil buku-buku itu. Begitu pula orang yang kutabrak. "Maaf ya?" katanya. Aku mengangkat muka. "Mia?" aku terkejut. Salah satu pentolan rohis sekolahku. Dia tersenyum sebentar, tapi setelah melihat Ronald dia berubah. Setelah usai membereskan buku-bukuku yang berantakan dia pergi. "Yuk ah, Vi Assalamualaikum". "Walaikum salam" jawabku. Ronald memandang punggung Mia yang berjilbab itu dengan perasaan tidak senang. "Nggak sopan amat tuh anak, basa-basi dikit ke!" umpatnya. Aku diem aja.
Get down, Get Down and moving all around yee.
Lagu milik Backsreet Boys bergema di rumah Andre, teman Ronald yang lagi ulang tahun. Anak-anak yang lain ikut jojing, berpasangan. Aku dan Ronald duduk bareng teman-temannya termasuk Andre. "Gue nggak nyangka ada yang berjilbab mau dateng ke pesta ulang tahun" kata Andre. Aku mesem aja, dalam hati sih aku tersinggung juga. "Maksud gue, elu tuh nggak sekuper anak-anak berjilbab yang laen. Teman-teman gue yang ngaji pada kuper. Nggak mau ke pesta apalagi pacaran. Katanya haram. Nggak ngerti deh gue maunya apa mereka. Kita kan bukan malaikat" kata Andre panjang lebar. "Iya, yang penting kan niatnya. Kita kan pacaran untuk nyari pahala, iya khan honey?" Ronald nimpalin sambil ngelirik padaku. Aku kesel juga. Enak aja aku dibilang pacarnya. "Oh, elu pacarnya si Ronald? Rugi lu pacaran ama tuh anak! Dia kan hyper" Sambar Andre. "Sialan lu, Dre. Jangan buka kartu temen sendiri lu" balas Ronald sambil ngejitak kepala Andre. Mereka pun "berantem". Yang lain, termasuk aku ketawa-tawa ngeliat dua anak itu berantem. Musik-musik yang kenceng terus diputer. Sekarang giliran house music. Aku mulai curiga. Jangan-jangan anak-anak pada on. Aku memandang sekeliling. Bener aja. Tiga orang anak mulai triping. Kepalanya goyang-goyang. Aku menghampiri Ronald yang lagi asyik jojing sendirian. "Nald, pulang yuk ah," Desakku. "Buru-buru amat sih. Baru jam sepuluh. Besok kan hari libur" Ronald terus aja jojing. "Pulang atau gue pulang sendiri naik taksi" ancamku. Berhasil, Ronald berhenti jojing meski dia kelihatan kesal. "Dre, gue pulang dulu. Istri gue nggak tahan nih" teriaknya pada Andre. "Payah lu, Nald" Andre kecewa berat. Ronald kelihatan kesal banget. Sampe di halaman rumah Andre, pintu cherokee-nya dibanting. Brukk! "Kamu kenapa sih, Vi. Nggak bisa nunggu bentar lagi?" dengusnya kesal. Aku menahan nafas. "Nald, anak-anak itu mulai nggak bener. Mereka pake inex. Temen-temenmu brengsek" kataku emosi. "Emangnya kenapa? Mereka mau on, mau jojing, mau ngapain juga terserah mereka. Itu hak mereka hepi-hepi. Yang penting nggak ganggu kita. Jangan sok suci deh" suara Ronald meninggi. Dia marah berat kelihatannya. Aku diam saja. Percuma ditanggapi. Akhirnya mobil itu jalan juga. Ngebut. "Malam, Nald" kataku sebelum turun di depan halaman rumah. Nggak ada jawaban. Baru setelah pintu mobil kututup dia bergerak. "Vi, sorry ya gue emosi. Assalamu'laikum" katanya sambil melambaikan tangan. Aku menjawab pelan. Kupandangi mobil itu sampe akhirnya hilang ditelan gelapnya malam. Ups, setengah sebelas malam. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Emang sih aku pernah dengar anak perempuan nggak boleh pulang larut malam. Ah, peduli amat, yang penting kan aku bisa jaga diri. Kaku amat sih aturan itu.
"Vi, telepon tuh" teriak mami dari lantai bawah. Aku masih setengah ngantuk. Baru jam sebelas aku tidur. Maka dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidur. Turun ke ruang tamu. "Halo?" kataku lemas. "Assalamu'alaikum" suara cowok dari seberang sana. "Walaikum salam. Siapa di sana?" aku rada-rada kenal suara itu. "Salim, masa lupa Vi?" Ups, Salim si anak Rohis. Aku terkejut. Belum pernah dia telepon ke rumahku. Ada apa ya?" "Vi, aku ada isu jelek, nih" "Eng, isu apa ya?" aku bingung. Salim mendehem. Kedengarannya dia khawatir.
"Vi, tadi malam polisi menciduk anak-anak yang lagi triping di sebelah rumahku. Kata polisi, ada anak yang ngaku melihat kamu dan Ronald di sana tadi malam. Kalo bener, kayaknya mereka bakal nyari kamu dan Ronald." Deg. jantungku berdetak kenceng banget. Kontan aku shock. Bibirku gemetaran. Gagang telepon itu nyaris lepas dari genggamanku. "Vi, kamu denger khan?" "Iya, aku denger" aku berusaha tenang. "Aku dan Ronald nggak kesana tadi malam. Kami ke twenty-one" aku berbohong.
"Oh, begitu Syukur deh, cuma..." "Cuma kenapa?" tanyaku penasaran. "Nggak apa-apa. Syukur deh kalo kamu nggak ke sana. Yuk ah, assalamu'alaikum" "Walaikum salam" jawabku sambil menutup telepon. Aku masih gemetaran. Apa kata papa mama kalo mereka tahu aku pesta ekstasi. Buru-buru aku nelepon Ronald. Tut.. tut... tut Sialan, nggak ada yang ngangkat. Masih tidur kali si Ronald.
Seharian aku ketakutan. Tiap telepon berdering atau suara pintu selalu kusangka polisi. Aku nggak tenang. Apalagi pas di berita pagi disiarkan penggrebegan itu. Untung tidak ada orang rumah yang ikutan nonton. Jelas kulihat rumah Andre di teve, beberapa anak yang kulihat tadi malam juga ikut disorot kamera teve, tapi tak kelihatan Andre. Aku semakin kalut, Sampe malam Senin aku terus ketakutan. Aku nggak bisa tidur sampe subuh.
Di kelas aku ngantuk banget. Mataku masih merah. Untung hari ini nggak ada pelajaran. Biasa, guru-guru pada rapat. Aku akhirnya milih ngumpet di warung bakso. Ronald tak kulihat sejak pagi tadi. Itu yang bikin aku terus-terusan cemas.
"Assalamu'alaikum" suara halus menyapaku. Aku menoleh, Mia. "Walaikum salam". Mia duduk didepanku. Sejenak dia ragu-ragu. Aku mengerutkan kening. "Ehm, Vi, Mia mau bicara" katanya ragu. Aku bingung mau apa Mia, saudara kembarnya Salim, top rohis sekolah ini datang padaku?. Aku makin bingung aja. Bicara apa? jangan-jangan kasus inex, atau masalah hubunganku dengan Ronald?
"Silahkan" aku memberi jalan. "Vi, terus terang aku khawatir tentang hubungan kamu dengan Ronald, Aku liat akhir-akhir ini Silvi sepertinya tidak bisa menjaga jarak. Silvi sepertinya ...." "Pacaran?" aku menyela. Mia mengangguk. Aku kesal, barangakali kalo diukur tensi darahku naik. Aku kurang tidur, diuber polisi dan sekarang hubunganku dengan Ronald dipermasalahkan. Sok tahu sekali sih anak Rohis ini. Aku mendesis pelan.
"Memang kalo aku pacaran dengan Ronald kenapa?" nada suaraku naik. Mia terkejut, mukanya seketika pucat. "Itu taqrabuzzina" katanya terbata-bata. Aku semakin berani mencercanya. "Mia, denger ya. Aku tuh nggak berzina sama si Ronald. Kami cuma pacaran biasa aja. Apa itu dilarang? Kamu jangan sembarangan nuduh. Itu fitnah tahu?" suaraku makin meninggi. "Vi, aku nggak nuduh kamu berzina. Naudzubillah. Tapi yang kamu lakukan itu salah. Jalan bareng laki-laki yang bukan muhrim, apalagi sampe berduan pergi ke pesta itu kan dilarang Allah" Mia bertahan. Shit! Dia tahu juga aku pergi ke pesta malam Minggu bareng Ronald. Pasti dari kakaknya Salim.
"Aku ngak ngerti, Kenapa sih kamu kaku banget dengan aturan. Yang penting kan niat kita bener. Lagian, kenapa sih ikut campur urusan orang?" aku makin marah. Akhirnya aku berdiri kutinggalkan Mia. Kulihat ia menundukkan kepala. Untung warung bakso sepi. "Brengsek juga adik si Salim, ikut campur urusan orang" Ronald marah besar setelah kuceritakan kejadian tadi pagi. Sejenak dia menghisap rokok putihnya. Asapnya dihembuskan kencang-kencang dari hidungnya.
"Bagusnya dia nggak lapor ke polisi kalo kita ada di rumah Andre. Liat aja nanti. Bakal gue kerjain si Salim" katanya datar. Aku menoleh tajam. "Kamu bercanda ka?" tanyaku setengah curiga. "Apa bedanya?" Ronald ketawa sinis. Rokok yang baru dihisapnya setengah itu dibanting ke tanah. Lalu jalan keluar kafe. "Mau kemana"tanyaku. "Ikut aja" jawabanya tanpa menoleh sambil jalan ke tempat parkir.
Aku masuk ke dalam mobil, Ronald masih di luar. Ia ngobrol serius dengan teman-teman sekelasnya. Lalu balik ke mobil. Cheroke itu pun dipacu kencang, Melesat ke arah sekolah.
Aku seperti tak percaya dengan yang kulihat tadi. Ketakutanku bertambah dua kali. Siang tadi Ronald dan gerombolannya menghajar Salim di belakang mesjid sekolah. Aku nyaris tidak percaya kalo Ronald berbuat segila itu. Aku mendengar rintihan dan erangan Salim saat tinju, ayunan kaki dan rantai menghantam tubuhnya. Anak-anak rohis yang laen tidak berani berbuat apa-apa. Mereka diancam kawan-kawan Ronald, Aku sendiri buru-buru pulang sambil menangis. Seminggu setelah kejadian itu aku menutup diri dengan teman-teman. Mereka sendiri tidak banyak bertanya padaku. Yang jelas setelah kejadian itu Ronald dan kawan-kawannya tidak muncul di sekolahan. Salim sampe sekarang belum keluar dari rumah sakit. Kata anak-anak, lukanya cukup parah. Aku sendiri belum menengoknya. Yang membuat aku gemetaran kalo aku berpapasan dengan anak-anak rohis, terutama Mia, saudara kembar Salim. Dia sendiri kelihatannya enggan bertemu denganku. Oh, God aku tersiksa sekali. Aku memijat kepalaku. Kain kerudungku berantakan di lantai. Aku nggak pernah nyangka Ronald berbuat segila itu. Mungkin Mia benar tentang hubunganku dengan Ronald. Aku banyak berbuat maksiat. Ah, kerudung itu apa guannya kalo ternyata pemakainya orang sepertiku. Suara telepon berdering dari ruang tamu. Bergeras aku lari. "Halo?" tanyaku terengah-engah. "Silvi?" suara bass itu .... "Ronald, kamu brengsek, pengecut. Teganya kamu ..." "Vi, aku ada perlu sama kamu" Ronald memotong emosiku. "Yang harus kamu lakukan sekarang minta maaf pada Salim dan mengakui perbuatanmu" setengah menjerit aku berbicara.
"Itu sebabnya aku telepon kamu" Ronald angkat bicara. Aku terkejut. "Kamu nggak bohong?" Aku ragu. "Aku nggak bohong, tapi kamu harus ke rumahku sekarang" jawab Ronald. "Kutunggu satu jam lagi" katanya sambil menutup telepon. Pintu rumah itu belum dibuka-buka meski bel sudah kupencet berkali-kali. tapi sebelum aku membalikkan badan untuk pulang pintu itu dibuka. Ronald muncul dari balik pintu. Tampangnya kusut, rambutnya acak-acakan. "Kamu bangun tidur, Nald?" aku heran. Sempet-sempetnya dia tidur. "Masuk Vi" dia mempersilahkan aku masuk. Ronald sendiri masuk ke dalam rumah. Aku duduk di ruang tamu. Tak seperti biasanya, rumah itu sepi. Padahal biasanya pembantu rumah Ronald, Mbok Siyem suka nongol kalo aku datang. Kami akrab banget. Mungkin karena aku sering kesini.
"Minum dulu Vi" Ronald datang sambil bawa segelas es jeruk. "Kamu nggak jadi berangkat?" aku mlau kesal melihat dia masih kusut. "Tenang aja, Gue kan bisa ngebut. Minum aja dulu" katanya cuek. Udara panas siang itu memang membuatku haus banget. Es jeruk itu segera kutegak habis. Tapi entah kenapa, Ronald tersenyum mencurigakan. Perasaanku jadi taidak enak. "Kenapa Nald ...?" tanyaku heran. Tapi seketika kepalaku pusing, pandanganku kabur. Aku dijebak Ronald.
Dengan sisa tenaga aku berusaha bangkit, tapi kakiku seperti lumpuh. Badanku pun terjerambab ke lantai. Ronald mengangkat tubuhku. Setengah sadar aku merasakan dia membawaku ke lantai atas. Aku hanya bisa merintih dalam hati tanpa daya. Air mataku mulai mengalir. Kawan baikku ternyata menjebakku. Aku seperti seekor tikus dalam genggaman kucing lapar yang siap melumat dan menelan diriku habis. Tikus itu tidak bisa bergerak sedikitpun dalam cengkraman kuku tajam sang kucing.
Jangankan meronta, mencicitpun tikus itu tidak mampu. Dengan sisa kesadaranku yang makin melemah aku hanya bisa meminta pertolongan kepada Allah dalam hari. Jeritan dari ketakutanku, hambaNya yang bertingkah munafik. Aku hanya bisa menyesali kebodohan dan dosa-dosaku. Aku mencoba menjerit dan meronta sekuat tenaga. Allahu Akbar!! Teriakku sejadi-jadinya. Dan tiba-tiba aku mampu menghempaskan Ronald. Tubuhnya terbanting ke dinding kamar. Kuderngar keras benturan badannya dengan dinding. Dengan sisa tenaga aku memaksakan lari keluar kamar. Terhuyung aku menyusuri gang-gang kamar lantai atas. Kini dengan berpegangan pada pagar tangga aku mencoba turun. Tiba-tiba kudengar deru nafas Ronald dari balik punggungku. Dia memelukku erat-erat dan mencoba menyeretku kembali ke atas. Sekuat tenaga aku memberontak. Kami bergumul di bibir tangga dan kehilangan keseimbangan. Aku dan Ronald jatuh beruntun dari atas tangga. Kepalaku membentuk lantai dan segalanya menjadi gelap dan gelap.
Aku membuka mata perlahan. Kepalaku terasa nyeri, begitu pula sekujur tubuhku. Semula pandanganku buram akhirnya terlihat jelas. Kulihat mama dan papa di sampingku.
"Kamu di rumah sakit, Sayang" kata mamaku sambil membelai lembut keningku. Matanya basah. Aku tidak bisa bergerak. Kurasakan sekujur tubuhku sakit, kepalaku dibalut perban.
"Dua hari kamu tidak sadar, kami sudah cemas" papaku bicara perlahan. "Ronald?" tanyaku dengan bibir bergetar menyebut nama si jahanam itu. Papa dan mama terdiam. "Dia meninggal, Sayang" mama menjawab datar.
"Lehernya patah" lanjut mama sambil menangis. Ronald mati? jadi aku selamat dari kebuasannya? Perasaanku berkecamuk. Rekaman peristiwa itu sekilas terlintas dalam otakku. Sementara bibirku bergantian menyebut istigfar dan hamdalah. Tapi bagaimana aku bisa di sini?
"Pembantu Ronald minta bantuan tetangganya untuk membawa kalian ke rumah sakit. Maafkan kami Vi, Papa dan Mama baru bisa datang kemaren. Nenekmu sakit keras" terbata-bata mama berbicara. "Untung ada temanmu yang bersedia menjagamu sejak kemarin. Dia baik sekali, menjagamu semalaman" sambung Papa. Teman? "Namanya Mia, dia pake kerudung. Dia ada disini waktu kamu dibawa ke rumah sakit. Kakaknya juga dirawat disini kemaren. Katanya dia teman kamu juga, kamu kenal dia sayang?" Papa berkata dengan rasa bersyukur. Hatiku bergetar, Mia, Salim dan temanku rohis, Ah apa yang harus aku katakan pada mereka.
"Assalamu'alaikum" suara beberapa orang dari pintu masuk terdengar. Aku menoleh, barisan jilbab putih berderet di sana. Aku terpana, lidahku kelu. Seperti tikus aku hanya bisa mencicit lemah, lemah sekali. (Oleh : Iwan)

Nilai Sebuah Harga Diri

Nilai Sebuah Harga Diri
Dari ufuk timur semburat merah mulai merayap naik dari balik gumpalan awan yang gelap. Suasana pagi itu masih diselimuti kabut dingin karena hujan baru reda beberapa saat. Hawa dingin masuk ke sel kami melalui celah diantara jeruji besi yang kokoh. Hawanya masih terasa menusuk tulang sumsumku. Ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi yang kami tempati makin pengap dengan aroma lantainya yang lembab.
Sayup-sayup terdengar azan subuh dari mushola Lembaga Anak Nakal Tangerang. "Daeng, bangun Daeng" suara Maman mengusik mimpiku. "Jam berapa sekarang?" sahutku, seraya tanganku mengucek kedua belah mataku. "Kurang lebih setengah lima, Daeng" jawabnya. "Ayo sholat dulu" ajaknya.
Segera aku bangkit dari tidurku, lalu kulipat kembali tikar plastik pemberian kakakku sebagai alas tidur yang sudah kelihatan lusuh. Bergegas aku menuju kamar mandi lalu berwudhu dan begerak bersama kawan lain ke mushola untuk menghadap Sang Pencipta. Sebagian besar teman-teman di lembaga ini memanggilku Daeng, sebutan anak asli Bugis, Makasar. Padahal nama asliku Syarifudin. Katanya sih panggilan itu lebih gagah, aku sih terserah mereka saja. Hari ini adalah genap dua tahun aku menghuni Lembaga Anak Nakal, ini setelah suatu peristiwa tragis yang tak mungkin kulupakan dan telah menyeret diriku sebagai salah satu penghuni tempat ini. Aku terpaksa pindah ke Jakarta dari daerahku untuk mengikuti kakakku yang berprofesi sebagai pedagang. Aku terpaksa ikut karena tinggal dialah angota keluargaku sepeninggal ayah dan ibuku karena suatu kecelakaan yang merenggut nyawanya. Semenjak aku ikut kakakku, aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padaku untuk melanjutkan sekolah atas biayanya. Hari-hari pertamaku di SMA Bhineka agak merepotkanku. Ini karena bahasa daerahku yang masih kental. Maka tak jarang yang aku ucapkan kurang begitu dimengerti oleh kawan-kawanku. Tetapi mereka cukup memaklumi dengan keadaanku. Maka tak heran kalau mereak jarang mengajakku bersendaru gurau, habis kadang suatu pembicaraan dianggapnya lucu tapi aku sendiri tidak merasa lucu. Tapi bagaimanapun suka atau tidak suka aku tetap harus mengikuti kedaan karean aku berada di lingkungan orang lain yang notabene mereka akan menjadi kawanku kelak. Tinggal bagaimana aku menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Suasana istirahat hari itu sangat riuh dengan berbagai tingkah laku anak-anak kelasku. Aku yang masih berstatus anak baru masih belum berani bergaul dengan yang lainnya, makanya aku cuma banyak bediam diri di kelas sambil memperhatikan tingkah laku mereka.
"Din, kamu lagi ngapain?" suara Ani sedikit menggetkanku. Ani adalah sahabatku yang pertama di SMA ini, dia pula yang pertama kali menawarkan tempat duduk buatku pada hari pertamku. "Lagi duduk-duduk saja" sahutku seraya mempersilakan duduk. "Kok kamu nggak ikut gabung sama mereka?" tanya lagi, sesekali tangannya sibuk menyibakkan rambutnya yang selalu jatuh tergurai menutup wajahnya yang manis. "Aku belum biasa dengan mereka, lagipula aku takut nanti cuma menggangu saja" sahutku perlahan. Aku memang ingin juga bergaul dengan yang lainnya cuma sebagai anak baru harus tahu dirilah. Cuma Ani saja yang kadang mengajakku ngobrol, ngobrol apa saja, yaa tentang kehidupanku di Makasar, tentang lingkungan baruku dan macam-macam lagi. Namun kedekatanku dengan Ani dianggap lain oleh Rudi, kawan kelasku yang kabarnya dia naksir berat sama Ani, namun belum kesampaian. Habis Ani nya sendiri cuek bebek sama Rudi. Sejak hari pertama aku masuk, aku sudah memperhatikan Rudi. Dia sepertinya termasuk siswa yang sedikit urakan, dari penampilannya yang gondrong dan tindikan anting di telinga kanannya. Khabarnya dia dari keluarga broken home. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan kini ia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Suatu ketika aku kebetulan aku lagi sendiri di kelas saat istirahat, tiba-tiba Rudi dan dua temannya masuk dan menghampiriku. Tanpa permisi sedikitpun dia langsung duduk di mejaku dan meletakkan kakinya di atas kursiku. Aku yang melihatnya sedikit gerah dengan sikapnya itu tapi aku coba untuk bersabar. "Gua liat lu kayaknya suka sama Ani, ya?" tanyanya dengan logat Jakarta seraya tangannya memainkan sebatang rokok. "Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ani" jawabku tegas. "Kagak ada hubungan gimane?"sergahnya.
"Udah ngaku aja, kalau elu emang suka sama Ani!" cerocosnya dengan nada yang makin tinggi. Matanya yang tinggal segaris sedikit dipaksakan untuk memelototiku.
Aku yang melihat perubahan pada omongannya sedikit terpancing emosi, segera aku berdiri dari tempatku. Kutatap matanya dengan tatapan yang tajam. Tanganku menegapal erat hendak menghajar mulutnya yang congak.
Namun belum sempat hal itu terjadi tiba-tiba bel berbunyi. Anak-anak segera berhamburan masuk ke dalam kelas. Bersamaan dengan itu Rudi dan temannya ikut bergerak meninggalkanku, namun dengan sedikit ancaman.
"Kalau lu masu dekat-dekat sama Ani, awas!!! ancamnya sambil mengacungkan tinjunya ke arahku. Ani yang kebetulan masuk terakhir sempat melihat kejadian itu mulai mengorek keterangan dariku setelah dia sudah duduk di sampingku. "Mau ngapain dia dekatin kamu?" tanyanya penuh selidik. "Nggak ada apa-apa!" jawabku sangat singkat. Jawabanku yang sedikit ketus itu membuat Ani diam, dia tak berani ajukan pertanyaan lagi. Wajahku masih memerah dan degup jantungku masih berdetak kencang, sepertinya aku hampir tidak dapat mengendalikan emosiku. Namun secara perlahan aku sudah mulai dapat mengendalikan emosiku. Akupun sadar kalau aku masih anak barudi sekolah ini. "Aku tak ingin studiku kacau cuma karena masalah sepele" pikirku. Ani yang melihat perubahan pada diriku kembali mengintograsiku bak maling ayam yang baru ketangkap basah. "Bener kamu nggak ada masalah dengan Rudi?" tanyanya sedikit berbisik, takut kalau-kalau Pak Tobing, guru Fisika ku yang galaknya minta ampun mendengar percakapan kami. Kalau dia sempat dengar ada yang berbisik waktu mata pelajaran dia, jangan heran kalau penghapus kayu itu bisa landing dengan sempurna ke kepala.
"Cuma masalah sepele, kok " "Sepele gimana?" Aku cuma terdiam dan tidak menjawab lagi, habis Pak Tobing menoleh ke arahku sedikit curiga setelah dia merasa ada suara seperti tawon kumpul. Ani kelihatan kesal dengan sikapku. Akupun jadi tidak tega melihatnya cemberut. "Kamu janji tidak marah kalo aku ceritakan masalahnya?" bisikku yang disambut dengan anggukan kepalanya. Lalu kuceritakan ihwal permasalahannya dari awal sampai akhir. Pelajaran Fisika yang saat itu kami hadapi tidak begitu kami hiraukan. Ani kelihatan antusias sekali.
"Trus tanggapan kamu bagaimana? tanyanya ketika aku mengakhiri ceritaku. "Tanggapan bagaimana?" aku balik bertanya. "Ya mengenai ancaman itu" "Kalau itu sih aku tidak terlalu ambil pusing, lagian aku sama kamu memang tidak ada apa-apa, iya khan?" Ada sedikit perubahan pada wajah Ani ketika aku menjawab pertanyaan itu. "Dan kalau dia marah lagi, apa urusannya" jawabku sedikit diplomatis.
"Tapi kalau bisa, kamu jangan sampai bentrok fisik sama Rudi, ya? pintanya sedikit berbisik nyaris tak terdengar olehku."'Dia itu anaknya brengsek dan kalau ribut suka bawa teman-temannya, makanya aku khawatir kalau kamu sampai ribut sama dia" pintanya lagi. "Aku janji untuk tidak melayaninya lagi kok" jawabku untuk mengurangi rasa khawatir pada diri Ani.
Ani tersenyum tatkala aku mengatakannya sebersit senyum manis terpancar dari bibirnya yang mungil. Lesung pipitnya yang aduhai makan menambah manis wajahnya yang memang sudah manis. Aku yang memperhatikannya tidak melewatkan saat-saat itu sampai aku sedikit grogi dan tidak memperhatikan Pak Tobing yang siap melayangkan penghapusnya. Untung saja bel berbunyi dan selamatlah daku. Waktu terus bergerak laksana roda pedati yang terus berputar. Banyak hal-hal yang baru aku temui sejak aku tinggal di Jakarta, sama halnya dengan kejadian-kejadian yang aku alami di SMA Bhineka. Tak terasa aku sudah satu bulan menjadi siswa di SMA Bhineka. Hubungaku dengan teman-teman satu kelas sudah mulai dekat meskipun belum begitu akrab. Namun untuk sedikit ngobrol, mereka suka mengajakku, walaupun kadang logat daerahku masih sering muncul. Ada satu hal yang belum aku bisa lepaskan dari diriku. Yaitu kebiasanku membawa badik. Badik pemberian pamanku tatkala ku hendak meninggalkan kampung halamanku. Katanya sih untuk jaga diri di negeri orang. Akupun sering dinasehati oleh kakakku untuk tidak membawa badik itu.
"Tapi bagaimana dengan pesan paman?" jawabku yang hanya ditanggapi oleh diam seribu bahasa kakakku pada suatu malam selepas kami sholat maghrib.
Ada satu hal lagi yang belum bisa aku selesaikan, yaitu Rudi.Ya, Rudi anak lama yang masih menyimpan dendam amarah padaku. Padahal aku sendiri merasa tidak punya masalah dengannya. Sudah beberapa kali dia berusaha memancing aku untuk duel, cuma aku tanggapi saja dengan dingin.
Dan terkadang kawan lainya ikut melerai, aku pun berusaha untu tidak melayaninya selama kehormatanku tidak diinjak-injak.
Namu puncak kesabaranku akhirnya pecah pada suatu pagi tepat pukul 09.15 tatkala Pak Martomo, guru kimia kami tidak bisa mengajar. Ketika aku lagi asyik ngobrol dengan Ani menunggu Faisal sang ketua kelas yang baru mengambil tugas kimia di ruang guru, tiba-tiba saja Rudi masuk ke kelas dengan sedikit sempoyongan. Aroma alkohol menyebar bersamaan masuknya Rudi ke dalam kelas. Matanya tampak merah akibat kebanyakan minum. Di tangannya tergenggam sebatang pipa besi. Aku dan kawan lainya heran, apa yang akan diperbuatnya.
"Hai banci!" teriaknya sedikit terhuyung seraya pipa itu ditunjukkan ke arahku. "Kalau lu bukan banci, lawan aku sekarang!" teriaknya lagi dengan sedikit parau. Aku yang merasa ditunjuk jadi emosi. Belum pernah aku dibuat semalu itu di depan umum. Rasa kehormatanku seakan tertohok oleh kata-katanya. Sebagai Putra Bugis pantang bagiku untuk dibuat malu di depan umum.
"Siapa yang banci!" jawabku lantang tidak mau kalah dan berdiri di depannya sambil menatap matanya yang makin sayu karena pengaruh alkohol. Ani dan yang lainya segera menghindar berlarian menuju ruang guru. Namun aku tetap berusaha untuk menjaga emosi jangan sampai aku terpancing olehnya, karena aku memang nggak ada masalah dengannya.
Baru saja aku hendak menarik nafas sebagai cara menenangkan diri, tiba-tiba Rudi mengayunkan pipa besi itu ke arah kepalaku. Segera aku menghindar dan secepat kilat aku meraih sesuatu dari bajuku, dan .... "Cressss" Badik pemberian pamanku itupun menancap tepat di dada Rudi. Mulutnya mengerang kesakitan, matanya terbelalak, tangannya memegangi badikku yang telah menancap di dadanya. Darah segar mengalir deras dari dadanya membasahi baju putihnya. Seiring dengan itu ia pun goyah seketika. Kedua kakinya seperti tak kuasa meopang tubuhnya lalu ambruk ke lantai.
Rupanya tusukanku tepat megenai jantungnya. Dia tak begerak sedikitpun. Darah mengalir dari bekas tusukanku. Suasana kelasku jadi kacau, anak perempuan berteriak histeris seakan tidak percaya dengan semua ini. Aku yang barus saja menikamnya berdiri menatap wajah Rudi. Tidak ada lagi keangkuhan lagi di wajahnya. Hilang sudah kesembongannya yang selama ini dia agungkan. Namun tiba-tiba saja ada rasa gejolak yang memberontak dalam relung kalbuku. Ada rasa penyesalan dan rasa kasihan yang timbul, tapi .... "Daeng lagi ngapain?" suara Maman kembali mengagetkanku dari lamunan masa laluku yang kelam. "Ingat kejadian dual, ya?" tanyanya lagi sambil ikut duduk di sampingku. "Orang seperti Rudi itu memang harus diberi pelajaran biar tidak kurang ajar" ujarnya, sambil mulutnya asyik mengunyah sepotong roti dan tangannya memegang secangkir kopi yang masih hangat.
"Kamu nggak usah pikirkan lagi, lagian kamu kan membela kehormatanmu sebagai orang Bugis" ujarnya lagi lalu menyeruput kopi hangatnya. Nikmat. "Tapi ....."
"Ala ... sudahlah nggak usah dipikirkan" sahutnya sambil menarik tanganku untuk menikmati saran pagi di ruang makan. Namun bagaimanapun aku tetap menyesali perbuatanku, karena aku telah menghilangkan nyawa seseorang. Seseorang yang sebenarnya masih ada pertalian darah dengaku, karena Rudi adalah saudara tiriku yang telah lama berpisah denganku sejak bayi. Rudi diasuh oleh ibunya yang hijrah ke Jakarta setelah bercerai dengan ayahku. Rahasia ini aku ketahui setelah kakakku yang menceritakannya padaku setelah aku menghuni lembaga ini.
Tapi penyesalan tinggalah penyesalan. Nasih sudah jadi bubur. Biarlah aku menjalani sisa masa tahanku yang entah berapa lama lagi akan aku selesaikan. Aku berjanji untuk menemui keluarga Rudi selepas masa tahananku untuk meminta maaf akan kesalahanku. Dan harapanku semoga kesalahanku ini dapat dimaafkannya.


Ditulis Oleh : ACI, Jatibening Desember 1996.

Tergeraknya Hati Wina

Akhirnya Edo memenangkan cinta Wina. Tapi perjalannya tidak semulus yang mereka harapkan. Kedatangan Wida, kakak Wina, membuyarkan impian mereka. Perang urat syarafpun terjadi antara Wina dan Wida, meski akhirnya Wina menyadari kesalahannya. Tapi kembalinya Wina juga tidak mudah, ia harus berhadapan dengan harapan Pak Han, pelatih basketnya dan juga ..... Edo !
Wina merapikan kain jilbabnya di depan kaca. Rasanya masih ada yang salah, pikirnya. Wina kembali bolak-balik keluar masuk kamar. Terus terang aja, dia kurang PD dengan penampilan barunya. Kerudung putih, kemeja lengan panjang dilapisi rompi kotak-kotak hitam putih, dan rok panjang sampai menutupi sepatu. Dibayangkannya, kru mainnya bakal shock berat. Oh, my God, no. Wina gelisah, ini bukan buat pamer, ini kewajiban. Peduli apa kata Lisa, Sisi, Uci dan ... Edo. Entah apa reaksi Edo melihat perubahan ini. Tapi aku harus siap. Whatever, I dont care. Malam tadi Edo nelpon, tapi ia sedang keluar.
Wina termenung di dalam mobil. Ia ingat keputusan yang ia buat dua hari yang lalu. Ia harus menemukan jati dirinya. Jati diri muslimah, meski dengan begitu ia harus mementahkan cinta Edo. Mungkin juga ia bakal terkucilkan dari teman-temannya. Dan ia juga bakal kehilangan kesempatan tampil sebagai kampium basket di Kobatama. Andaikan bisa, rasanya ia ingin melepaskan diri dari semua pilihan-pilihan sulit itu. Tapi itu tidak mungkin, di harus hidup dengan pilihan-pilihan sulit yang membelitnya.
Dulu, saat kakaknya memutuskan berjilbab, dia ingat reaksi teman-teman kakaknya. Ada yang mendukungnya, sebagian menyambutnya dingin, sebagian lagi celaan. Karie basket kakaknya yang cerah juga dikaramkan begitu saja. Tapi Wida tidak peduli, dia jalan terus. Toh, akhirnya kakaknya memiliki prestasi lain. Dia sempat dikirim acara pertukaran pelajar ke luar negeri. Sepulang dari sana, dia membuat tesis yang bikin orang terbengong-bengong, "Kritik Tatanan Sosial Masyarakat Barat", begitu judul karya tulis yang bikin heboh itu. Kontan kuli tinta setempat berebut mewawancarai Wida. Dengan begitu ia bisa membuktikan bahwa berjilbab bukan sesuatu yang norak. "Kamu punya masalah dengan jilbab kamu?" tanya seorang wartawan suatu ketika.
"Nggak ada, malah saya melihat orang lainlah yang menganggap jilbab itu masalah"
"Kenapa?" "Ya, mereka hanya salah paham dan kebanyakan tidak tahu makna jilbab" "Terus kalau mau pacaran gimana? Ada kesulitan teknis dong?" uber sang wartawan. "Saya bukan penganut paham pacaran, Itu malah saya kritik dalam tulisan saya". "Tapi banyak kok yang berjilbab pacaran?". "Jilbab dan pacaran dua hal yang berbeda. Dengan berjilbab tidak lantas dia sudah jadi muslimah yang benar. Abdullah bin Ubay saja suka sholat koq, tapi gimana dia?" "Maksudnya?". "Maksudnya orang yang berjilbab tadi, jilbabnya sudah benar, hanya saja dia masih berbuat maksiat" "Jadi percuma dong dia berjilbab?" "Nggak percuma, cuma itu tadi, kenapa koq masih masih melakukan perbuatan nggak benar" "Win, sudah nyampe. Ngelamun aja sih" tegur papanya yang tiap ari jadi sopir pribadinya.. Setelah cium tangan, say salam. Wina keluar dari mobil. Masih dengan keraguan ia melangkahkan kaki ke halaman sekolah. Betul saja, beberapa pasang mata memandangnya dengan sorotan kaget. Sepanjang koridor sekolah, hampir semua siswa memandangnya aneh. Tak terkecuali yang sudah berjilbab.
"Itu Wina, kan?" bisik mereka satu sama lain. Sebagian terkagum-kagum, sebagian terkaget-kaget dan merasa rugi. Rugi? Iya dong, dengan begitu mana ada kesempatan menatap wajah dan body Wina yang aduhai. Padahal itu kan hiburan gratis di tengah kesumpekan suasana belajar. Hm, ini pikiran ngeres play-playboy sekolahan. Wina terus berjalan diantara tatapan aneh siswa-siswa sampai di depan kelas. Hanya selangkah lagi kakinya menginjak ubin kelas suara keras mengagetkannya."Wina?" pekik Lisa. "Ka..kamu pakai kain kafan. Eh, jilbab?" Lisa mendadak gagap. Biasanya sih ... bisu.Wina menunduk sambil tersenyum. Senyum kemenangan.
"Aduh Win, kok bisa-bisanya sih?" masih dengan perasaan kaget Lisa membelai kain jilbabnya yang putih bersih. Teman-teman yang lain ikut ngerubung. Sebentar saja pintu kelas jadi sesak. Wina bagai alien. Ya, seperti kata Sting, "I'm The Englisman in New York" atau kata Phil Collin "It's no fun being an illegal alien" ditanya ini itu. "Win, kita nggak bisa bisa ngeceng lagi dong di PI Mall" kata Sisi dengan kenes. Kehilangan teman ngeceng, tepatnya teman buat ngutang. "Kalau ngeceng sih bisa, cuma nggap di PI Mall" Uci nyeletuk. "Ngeceng dimana? Ikutan dong" Sisi penasaran. "Di mesjid, ngecengin bedug" jawab Uci sekenanya, Sisi manyun. "Tapi Win, katanya remaja masjid cowoknya keren-keren ya?" Ih, Sisi dasar ngeceng maniak. Wina hanya tersenyum aja. Dia tahu teman-temannya bercanda.
"Win kamu nggak ikutan basket lagi dong?" tanya Yuyun. Wina menggelengkan kepala. "Udah bilang Pak ..." "Belum," jawab Wina pelan. "Edo sudah tahu Win?" tanya Lisa pelan. Anak-anak yang lain diam mendengar pertanyaan Lisa. Mereka juga menunggu jawaban Wina. Suasana hening sejenak. "Belum" lirih suara Wina. Bibirnya gemetar. Keringat dingin dirasakan mulai mengucur. Anak-anak tidak bertanya lagi. Mereka tahu ini pilihan sulit bagi Wina. Suara bel masuk membubarkan kerumunan mereka. Di dalam kelas, Wina masih menjadi perhatian. Jejaka-jejaka kelas geleng-geleng kepala. Huh, hilang sudah obat cuci mata. Siapa lagi yang bisa jadi obat cuci mata. Pak Yoyo, guru Fisika yang jenggotnya jarang-jarang itu? Huh, itu sih bukan cuci mata, tapi cuci mobil. Meski begitu ada juga yang semakin tergila-gila dengan penampilan Wina yang baru. Lebih anggun, wajahnya lebih bercahaya seperti rembulan. Oh rembulan, terimalah jamu M Kapsul, hiiiiii hiii.
Diam-diam Wina bersyukur, ternyata teman-temannya menyambut dengan ramah. Meski ada juga yang kecewa, yaitu para Casanova kelas. Biar aja, mereka memang pantas untuk dikecewakan. "Jadi kamu meninggalkan basket?" Pak Han tak percaya. Pertanyaan itu terus-terusan diulang. Wina hanya mengangguk sambil menundukkan kepala. Pak Han menarik nafas panjang. Jalan mondar-mandir, bingung. Bintang timnya keluar, buyar sudah impianya mengulang sukses merebut posisi bergengsi itu. "Win" Pak Han seperti menemukan harapan terakhir.
"Apa bisa kamu tunda keputusan itu sampai babak final nanti?". Wina mendongakan kepalanya, menatap wajah Pak Han dengan perasaan kesal. No Way, Sir! Sehari bahkan semenit, sepersekian detik pun keputusan itu tak kan kuubah.
"Tidak bisa, Pak" Jawab Wina tegas. Pak Han lemas sudah. Dia terduduk di kursi sambil memegang pinggirannya. Lalu mengurut-urut keningnya. Mungkin pusing. "Ya.... kalau itu maunya kamu, bapak tidak bisa memaksa. Itu jalan hidup kamu. Bapak harus menghormati pilihan orang lain" akhirnya Pak Han menyerah. Dia bangkit sambil mengulurkan tangan, mengajak salaman. Wina menyambutnya dari jauh, tidak menyentuh tangannya. Wina segera pamitan pada Pak Han, juga pada guru olah raga yang lain di ruangan itu. Hari pertama berjilbab beres sudah. Wina menyeka keringat segede-gede biji jagung akibat hawa panas. Dia masih berdiri dekat gerbang sekolah menanti bajaj langganannya. Edo kemana ya? Bisik hati Wina. Diam-diam ada perasaan rindu pada Edo, batinnya berjuang lagi memerangi perasaan itu.
"Win" suara bass yang khas mengejutkannya, Edo!. Wina hanya melirik sebentar, kemudian menjaga tatapannya. Duh Gusti, tolong aku! Jerit batinnya. Edo menghampirinya. Wina bergeser menjauh. "Ehm, kamu nggak bilang mau pake jilbab" Edo membuka pembicaraan, Wina diam saja. Merasa tidak ada respon, kembali Edo angkat suara. "Tapi kamu tambah cantik" pelan Edo bicara. Wina masih diam hanya dirasakannya pipinya memerah. Batinnya berjuang lebih keras lagi. "Mau saya antar pulang? Mobil saya di depan sana" Edo menawarkan diri.
"Terima kasih, nggak perlu, Saya bisa pulang sendiri" Wina menggelengkan kepala. Edo hanya garuk-garuk kepala mendengar jawaban itu. Dia bingung harus bicara apa lagi. Wina bagai patung. Hemat kata-kata, berbeda dengan seminggu yang lalu, saat mereka jalan bareng di Dufan, jejeritan diatas pontang-panting. "Ada apa Win? Kamu punya masalah" Edo penasaran. "Atau jilbab itu jadi masalah buat kita?" akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Edo. Wina makin terpuruk. Matanya dirasa basah, sapu tangannya segera disapukan ke mata.
Bajaj langgannya datang, bergegas Wina membuka pintu dan segera masuk. Sebelum Edo sempat bicara, sebelum Edo sempat menahannya. "Jalan Bang!" pinta Wina. Bajaj itu pun segera meraung menenggelamkan panggilan Edo. Di dalam Bajaj Wina terus mengusapkan sapu tangan pada matanya yang basah. Untung supir bajaj tidak tahu.
Kriiing, telepon di rumah berdering. Ragu Wina mengangkatnya meski akhirnya dilakukan juga. "Halo assalamu'alaikum" "Waalaikum salam" suara bas khas anak laki-laki itu lagi dari seberang sana. "Wina?" tanya suara itu ragu-ragu. "Win ...ini Edo. Saya perlu bicara" Edo seolah minta persetujuan.
Bicara saja" jawab Wina sambil mengontrol diri. "Maaf buat kejadian siang tadi. Mau kan maafin saya?" "Ya, saya maafin" Hening. "Saya mendukung jilbab kamu. Saya pikir nggak ada salahnya kamu berjilbab. Toh itu untuk kebaikan. Saya juga bangga pacar saya berjilbab. Oh ya Win, saya juga beliin kamu jilbab, warnanya pas buat kamu" Edo terus bicara sampai akhirnya dia sadar kalau Wina tidak bersuara, tidak mengiyakan, tidak berdehem, Diam saja. "Win, kamu masih disitu?" taya Edo. Hening. "Edo saya mau bilang ... kamu perlu tahu ..."suara Wina putus-putus. "Iya?" "Kita ... putus...!" Tak ada lagi yang bicara. Keduanya berkutat dengan perasaan dan emosi masing-masing. Itu ucapan yang mengelegar buat Edo. Andaikan ada dinamit meledak, mungkin tidak terlalu mengagetkannya. Tapi kalimat "kita putus", membuat Edo lemas di seberang sana. Buat Wina, itu kalimat mahal yang keluar dari lubuk hatinya. "Edo? Kamu .... ngerti kan?" Wina angkat suara. "Tidak,saya nggak ngerti, kenapa kamu begitu saja mengakhiri hubungan kita. It's no fair. Win. Saya perlu tahu alasan kamu" suara Edo meledak-ledak. "Win, apa salah saya? Tunjukkan saya akan perbaiki diri! Atau kamu bosan?" emosi Edo tak tertahan lagi, terus mengalir. "Kamu punya cowok baru?"
Wina diam. Sulit untuk menjelaskan hal ini kepada Edo. Ah, Edo kamu terlalu berprasangka. "Wina yang salah, kamu juga, kita semua salah" Wina menarik nafas panjang untuk menjawab. "Maksud kamu" tanya Edo heran.
"Kita seharusnya nggak berbuat begini. Kita nggak perlu menyia-nyiakan masa muda kita dengan pacaran itu... dosa. Saya tidak bosan dengan kamu, kamu teman yang baik, Do. I swear. Saya juga tidak punya cowok baru. Hanya kita nggak perlu meneruskan hubungan kita, Do. Ini buat kebaikan kita bersama, Kamu ngerti kan?". Tidak ada jawaban. "Do, bagaimanapun juga kamu tetap teman saya, saudara saya. Kita masih berhubungan, masih bisa ngobrol. Hanya bukan sebagai pacar, tapi sebagai saudara seiman" Wina menahan perasaan hatinya yang bergejolak. Semoga Edo mengerti, katanya membatin. Masih belum ada jawaban, Wina ragu, jangan-jangan Edo menutup teleponnya. "Win" akhirnya "Ya?" "Kamu picik!" gagang telepon pun dibanting dari seberang sana. Tinggal Wina yang menangis sambil memeluk gagak telepon itu. Ah, Edo kamu belum mengerti rupanya.
Setelah kejadian itu Wina tidak pernah melihat Edo. Sosok Edo lenyap dari peredaran. Bukan hanya Wina yang merasakan itu, teman-temannya juga. Mereka semula penasaran, lama-lama diam. Iya sih, ngapain juga ngorek rahasia orang lain. Usil aja, mereka baru mendegar keretakan hubungan itu dari kabar burung. Pernah sekali dua kali Wina berpapasan jalan tapi cuma melengos saja. Edo membuang muka, Wina menundukkan muka. Ada juga teman yang menasehati Wina supaya kembali pada Edo, tapi malah itu
yang dinasehati Wina. "Win" Lisa noel pundak Wina. "Hemm". "Udah denger belum?" "Udah" "Udah?denger apa?" Lisa balik penasaran. "Denger suara kamu" "Dasar" sungut Lisa. "Habis denger apa?" tanya Wina sambil membalikkan badannya pelan-pelan. Takut ketahuan guru PPKn. "Ini soal Edo" kata Lisa pelan. Wina jadi nggak penasaran lagi. "Ada apa sama Edo?" tanyanya kurang antusias. "Dia jadi liar" "Maksudnya?"
"Menurut sumber gosip yang bisa dipercaya, Edo jadi urakan, sering bolos, ngerokok di kantin, and terakhir ..." Lisa nggak nerusin. "Terakhir?" "Dia diskors gara-gara triping di kelas" Innaliwa innalihirajjiun, sambar Wina cepat. Ah, Edo, Anak manis yang pernah dia kenal dulu, mungkinkah berbuat sebodoh itu? Hanya gara-gara cinta? Sepele sekali. Bayangan Edo kembali melintas. Pelajaran PPKn hari itu terkalahkan bayang Edo. Tidak satupun yang nyangkut. Wina berjalan keluar dari kantor pos. Tiga halaman surat dia buat untuk Edo. Berat hati sebetulnya dia melakukan itu. Sama saja membuka lama. Hanya karena kewajiban menasehati saudara, Wina mengingat kembali Edo. Meski jauh di lubuk hatinya dia merasa turut bersalah. Bisa saja dia menelepon Edo dan menjelaskan segala kebodohan yang dia lakukan, tapi itu tidak dilakukannya. Khawatir pembicaraan melebar kemana-mana hingga menyinggung kembali kenangan yang sudah ditutupnya.
Seminggu kemudian, di suatu sore. Wina sedang membaca terjemah Riyadus Shalihin saat sebuah kabar duka datang. Ibu Edo menelepon, memberitahu bahwa Edo menghembuskan nafas terakhir siang tadi. Sebuah truk menghantam charade-nya dengan telak, Edo tewas seketika. Sesengukan Wina menceritakan kabar itu pada mama dan kakaknya. Malah hari segera mereka melayat ke rumah Edo.
Wina masih berdiri di dekat gundukan tanah merah itu. Harum melati, putihnya melati dan tanah yang masih basah kembali mengingatkannya pada Edo. Edo, anak lelaki yang ganteng, putih, charming dan belum mengenal jauh Islam. Wina tidak begitu tersinggung saat Edo menyebutnya 'picik', itu karena ketidaktahuan Edo akan Islam.
Sebenarnya, Edo masih bisa diselamatkan andai saja supir truk itu tidak melarikan diri dan segera membawanya ke rumah sakit. Dalam bayanga Wina, dilihatnya Edo tergeletak dalam mobil yang ringsek itu. Merintih, sementara darahnya mengalir ke mana-mana, membasahi kaos bola yang dipakainya saat itu, sedangkan suratnya tergeletak di dashboard mobil bersama beberapa butir pil Nipam. Surat itu, baru diterima Edo pagi hari sebelum kecelakaan dan belum sempat dibacanya. Wina menangis, menangis untuk kepergian Edo yang mungkin belum kembali ke jalan yang benar. Diduga kuat oleh polisi, Edo saat itu dalam pengaruh obat sehingga tidak bisa mengontrol kendaraan. Wida menarik tangan adiknya, mengajak pulang, sedangkan Lisa memeluk bahunya erat-erat. Wina masih meneteskan air mata tapi dia tidak terlalu berduka. Dia tahu, dia masih punya kakak dan teman-teman yang dia tahu tidak akan mengecewakannya. Apalagi dua hari yang lalu teman-temannya sudah bersepakat untuk ngaji seminggu sekali. Maka kepergian Edo tidak dirasakannya sebagai hal yang terlalu berat. Hanya memang, perjalanan hidup Edo yang serba singkat itu pernah mengisi memori hidup-nya.
Suasana sudah agak gelap saat mereka meninggalkan makam Edo. Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar, seperti mengajak Wina untuk bersikap tegar lagi.


Dikutip dari Permata 6/IV Juni 1996.

Bisikan Hati Cahaya Illahi

Tulisan Sebenarnya sih, sekitar 2 tahun sejak aku berbusana muslimah, di diary-ku nggak pernah ada lagi cerita tentang mahluk yang bernama cowok itu kecuali ayah, kedua abangku dan pak Jon, guru fisikaku yang bijak sehingga membuat kami senang belajar. Aku kan sudah tahu bahwa Islam memang membatasi hubungan 'antar jenis' yang bukan mahrom. Jangankan memandang sampai lama, baru liat sebentar aja, sudah harus dipalingkan. Soalnya, pandangan itu salah satu sarana panah syetan, ih serem lah yaw. Jadi mendingan aku memilih menundukkan pandangan dalam bergaul dan di setiap kesempatan belajar yang disampaikan guru pria. Memang susah sih, malah aku suka dibilang sombong, nggak sopan atau kurang pede karena nggak menatap lawan bicara tapi alhamduillah kebanyakan dapat berjalan lancar kembali setelah kuberi penjelasan.
Tapi setelah Anya sering cerita tentang kak Tara, aku jadi penasaran. Hingga tadi, ketika ia sedang dengan santai menjelaskan tentang penggunaan proposisi, kualihkan pandanganku lekat-lekat dari ujung rambut ke ujung kaki eh sepatunya. Dan ketika kembali aku memperhatikan ke atas, ternyata ia pun sedang melihat ke arahku, kok aku jadi dag dig dug ya, senyumnya itu lho, manis syekalee... Di perjalanan pulang Anya mulai lagi, padahal metromini yang kami tumpangi lumayan sarat penumpang. Biasa, jam-jam segini sebagian pekerja memang banyak yang sudah buyar dan puncaknya adalah sekitar pukul 17.30 nanti ketika bubarnya anak sekolah. Tapi alhamduillah, tidak lama kami berdiri ada dua orang yang turun dari bangku yang bersebelahan. Dengan semangat, kami langsung mendudukinya, takut keduluan yang lain.
"Gimana Ui, Ok, khan?" begitu cowok idealku, pinter, ganteng, trendy dan nggak tingkah macem-macem. Kata mas Aryo, dia anak teknik UI, baru tingkat tiga. Nggak kayak kedua mas-mu, pinter sih pinter, kece juga, tapi dandanannya nggak tahan, kayak remaja zaman 'rikiplik' kemeja panjang plus celana warna belel, begituuuu melulu." Entah apa yang mendorong Anya melibatkan abang-abangku dalam teorinya. Bukan su'udzon, Anya memang pernah kecewa mas Fahmi. Aku tersenyum juga dan diam agak lama. Kurasakan lagi bagaimana aku kecipratan 'bara' perbuatannya. Ah...andai ia seorang pedagang minyak wangi.
Anya memang pernah ikutan ngaji denganku sekitar dua taun lalu ketika kami sama-sama menjadi anak baru di SMU ini. Rupanya dia hanya tahan sampai beberapa kali saja, karena ia merasa sudah terlalu banyak kegiatan. Toh di sekolah juga sudah mendapatkan pelajaran agama katanya, setelah sering kuingatkan betapa pentingnya belajar Islam. Bagai bertepuk sebelah tangan memang mengajak orang yang tidak mau. Hanya kadang jika ada kegiatan besar Rohis sekolah kami, ia mau ikut membantu. Juga jika kuajak untuk menghadiri ceramah umum atau seminar sesekali ia mau juga ikut. Ia mungkin hanya sungkan padaku karena sampai detik ini kami masih bersahabat dekat.
Ia masih sering mengadukan segala keluh kesahnya padaku, walaupun aku kian jarang berbuat hal yang sama padanya karena aku sudah memilih sahabat-sahabat yang lebih kupercayai. "Ingat nggak Ul, waktu kita basah kuyup kehujanan karena nggak bawa payung, dia sempat-sempatnya memberi perhatian dan menawarkan jaketnya untuk kupakai. Dia naksir aku apa kamu ya Ul?" "Jangan ge-er gitu dong an, kan bukan kita aja yang dia perhatiiin, semua juga...."
"Tapi sama kita rada privat lho Ul, aku liat cara dia memandang kamu tuh nggak lain, lagian mana ada dia nraktir teman-teman yang lain, walaupun akhirnya pizzanya kamu kasih pengemis karena kamu lagi puasa." "An, Pak Jon ulanganya sampe bab berapa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku kuatir tertular ke-ge-er-nya. Bukannya nggak suka lawan jenis, tapi aku tadi kan sempet deg-degan, tapi aku masih menyadari hal itu tidak boleh berlanjut.
"Sampai bab tiga, mudah-mudahan nilai fisika kita bisa sembilan lagi ya Ul, kalo perlu sepuluh karena kita sudah kelas tiga biar bisa masuk teknik IU, nanti kan bisa jadi adik kelasnya kak Tara" sahut Anya. Ampun nih anak, nyambungnya ke situ-situ lagi. "Siap-siap turun yuuk! udah dekat tuh" kataku sambil bergegas menuju pintu bus. "Anggrek kiri bang!" pintaku pada kenek.
"Mas, kalo buah tomat dan apel disilangkan hasilnya jadi lucu dong ya? Tanyaku pada Mas Fahmi di suatu sore sambil asyik menyirami taman buah hasil eksperimen mas-ku yang anak pertanian itu di halaman belakang rumah kami.
"Lucu, gimana, lha wong aku aja belum pernah tahu kok!" sahutnya. "Ya lucu dong, kan jadi buah tompel namanya heeeee" "Iya lucu, apalagi liat usaha kamu ngelucu.." katanya sambil tertawa. "Eh kamu masih dekat ama Anya, ya Ul?" tanyanya kemudian. "Masih mas, kita duduk sebangku malah. Les Inggri juga bareng, kenapa mas?" tanyaku heran.
"Kok, kayaknya dia nggak banyak berubah ya, Ul. Mas perhatikan malah kamu yang agak berubah, menasehati mas biar agak trendy lah, suka melamun, qiyamul lail susah dibangunin ...bukannya mas mau menyuruh kamu untuk sama sekali menjauhi dia, tapi Ulfa harus membatasi diri jangan sampae dekat dengan dia seperti dulu. Jika kita ingin mengetahui seseorang, kita tinggal liat siapa teman-teman dekatnya kan?" Mas fahmi berbicara panjang lebar dan datar. Seperti biasa hampir tak pernah ia menunjukkan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan emosi. Akhir-akhir ini aku memang suka melamun dan paling sering melamun kak Tara.
"Iya mas, sebelumnya Ulfa sudah mempertimbangkan ketika memutuskan untuk tetap dekat dengannya. Habis Ul khan sayang sama dia. Ul juga ingin dia merasakan indahnya Islam, tapi yaa... mungkin Allah belum menghendaki, malah Ul yang masih suka terpengaruh dia, Ul akan berusaha memperbaiki deh mas" janjiku. Tiba-tiba kami mendengar suara heboh di garasi. Rupanya ayah, pakde dan bude Ahmad, serta Mas Hafidz yang jadi sumber kehebohan itu sudah tiba. Pintu pagar rumah kami memang tidak terkunci. "Ulfa, Fahmi! ada kabar baik nih!" seru mas Hafidz. abang tertuaku yang kocaknya minta ampun, ia baru bekerja sejak tiga tahun yang lalu walaupun baru pekan lalu diwisuda.
"Eh, dengar ya, aku Insya Allah mau nikah lusa! Tadi lamaranku diterima, hee..hee akhirnya"
"Ih mas Hafidz norak!" komentarku gregetan melihat tingkahnya yang konyol. "Jangan gitu dong say, paling enggak kan aku nggak cuma sedang mengharapkan janji Allah tentang bidadari di surga, tapi dihadapan mata. Ayo fahmi, kapan kamu nyusul?" "Mas Hafidz, mas Hafidz ... paling bidadari juga nggak ada yang mau sama kamu .."ledek mas Fahmi, "Lagian, nikahnya aja belum, aku sudah disuruh nyusul ... ada-ada saja..." lanjutnya diiringi derai tawa kami. Aku mulai mencoba jarang berinteraksi dengan Anya walaupun masih duduk sebangku. Di OSIS, ke bimbel, les dan sebagainya. Istiqomah menggenggam Islam memerlukan pengorbanan, untuk itu aku harus bersahabat dengan orang-orang yang dapat membawaku terus berpijak di sana. Senyum yang menurutku termanis milik kak Tara padaku ketika terakhir les pun sedang berusaha aku lupakan. Kini aku telah pindah les ke sebuah lembaga pendidikan Islam yang memisahkan pelajar putra dan putrinya. Di sana aku merasa lebih nyaman karena pengajarnyapun memiliki akhlak yang Islami juga. Kiat mas Hafidz untuk selalu bersabar menghadapi godaan seperti itu juga sudah aku terapkan. Masak sih nggak ada bidadara yang mau sama aku, hee....... Kututup diary hijau mudaku. Kupejamkan mata sambil berdoa untuk keselamatan kami dan Anya. (Erna)


Pernah terpublikasi di Permata 12/V Desember 1996

Birunya Langit Hitamnya Malam

Biru Untuk Langit, Hitam Untuk Malam

Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke ruang belajar Seno, kakaknya Vivi. "Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang mirip perut Robocop diutak-atik.
"Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang, ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy" tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.
"Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup. "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun. "Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik. Sukses gue bikin jealous tuh anak! "Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.
"Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy, bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang. Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar, perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram.
Baru saja dia masuk ke kamar, suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar. Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya menghadang di depan pintu kamar.
"Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik, tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy, Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan saling baku hantam.
"Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit, pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara mata Boy lebam.
"Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk, mama kaget dan menjerit "Boy!!" Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.
Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.
Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi, Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya. Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya. Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri, kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.
Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang. "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam. "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga. "eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh, kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.
"Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga. "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi. "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi. "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati. Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik
Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati. Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.
"Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi. "Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga, jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres makan" jawab Erik bak gentlemen.
"Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi jadi pacar Erik?" sambungnya.
Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas. "Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.
"Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi" akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare enough to fall so deep in love.
Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam kesedihannya. Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik, ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal. Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu. "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan cepet nutup pintu takut ketahuan nangis. Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan, Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.
Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.
Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin dibukakan oleh Allah. (Iwan)

Disarikan dari Permata 24/V Desember 1997
dipublikasikan oleh:Redaksi [11/12/02 - 19:13:02]

Sajak Cintaku


Sajak Cintaku
Ketika kupandang bintang-bintang mengerling bulan Aku tak bergerak Ketika kulihat aneka bunga bermekaran di taman Aku tak bergerak Ketika kulihat burung-burung bercanda bercumbuan Aku tak bergerak Ketika kulihat istriku terlentang menantang Aku tak bergerak Ketika kulihat lukisan Leonardo atau Jeihan Aku tak bergerak Ketika kubaca syair-syair ‘Imri-il-Qais dan Qabhani Sajak-sajak Rendra dan Buseiri Bahkan kasidah Banat Su’ud Zuheir Dan kasidah cinta Rabi’ah Aku tak bergerak
(Rasanya tak ada yang seindah negeri ini Untuk dilukis dan dinyanyikan Negeriku adalah puisi Negeriku adalah lukisan Negeriku adalah nyanyian Negeriku adalah miniature sorga Yang dianugerahkan Tuhan)
Tapi mengapa kini Justru ketika kebencian mengganas Dendam membakar akalbudi Sesama saudara menjadi serigala Saling mencabik dan memangsa Aku tergerak menulis sajak Sajak cinta.
Tiba-tiba bintang-bintang dan bulan Terlihat benderang Bunga-bunga tampak lebih ceria Burung-burung kian asyik diperhatikan Istriku bertambah cantik Lukisan-lukisan semakin menarik Syair dan sajak menjadi lebih bermakna Meski sendiri aku menikmatinya.
Inilah sajak cintaku Cintaku yang pertama Cintaku yang utama Cintaku yang terakhir Cintaku yang tak berakhir Cintaku yang cinta Cintaku yang tercinta.
Zayin Achadia

Cintaku yang membakar rasa benci Cintaku yang melumatkan dendam dan dengki Cintaku yang senaung langit seteduh bumi Cintaku yang Insya Allah abadi.

Minggu, 20 Januari 2008

Doakan Daku Cayank

Doakan Aku, Sayang
Kafemuslimah.com “Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.” Kalimat itu muncul kembali dalam benakku. Pernah terluncur dari bibir sahabatku saat percakapan panjang di telepon itu berakhir pada keputusanku untuk tetap menikahi seorang lelaki yang menurutnya tidak tepat untukku. Lelaki itu kini menjadi ayah dari calon anakku. Seminggu kami berdebat. Dia sahabatku tersayang, tempat biasa aku bercerita banyak, mungkin sambil tergugu. Tentang aku, tentang dia, tentang ibuku yang dingin, tentang ibunya yang kolot. Tentang adik-adik kelas kami di sekolah borju yang semakin memprihatinkan. Tentang kampus berembun ditingkahi gilasan roda kereta di rel. Di tengah kedongkolan akan jadwal telat kereta yang berbarengan dengan jadwal kuliah Pengantar Lingustik Umum. Sambil berbicara tentang kakaknya yang sudah menginjak tiga puluh limaan tetapi belum ditemani pendamping. Kini kami berdebat tentang sesosok lelaki yang berniat menjadi pendampingku. Dan kini tidak lagi itingkahi hiruk pikuk suasana Tebet-Depok, melainkan melalui sambungan telepon kantor.
Temanku ini yang bertugas “mewawancarai” lelaki itu. Pada awalnya begitu banyak kesamaan yang diceritakan temanku itu tentangnya. Katanya aku begitu banyak miripnya dengan lelaki itu. Aku suka berpetualang, begitu juga dia yang suka kemping ke sana ke mari. Ketika menelisik lebih jauh dirinya, banyak juga perbedaan dalam diri kami. Dan temanku yang pertama kali menunjukkan itu. Ternyata ia bukan orang berada, karena itu dulu ia harus mengalah berhenti dari kuliahnya demi adiknya, dan dia harus bekerja. Padahal saat itu ia baru saja mencicipi semester tiga informatikanya. Saat ia bingung harus memikirkan bagaimana mencari tambahan biaya untuk keluarga –karena ayahnya baru saja diPHK—mungkin aku sedang duduk-duduk bersama teman kuliahku sambil bersenda di kursi taman kampus. Lalu saat itu ia harus rela hanya kuliah diploma satu demi menggenggam sebuah ijazah selain ijazah SMU.
Karena itulah, kemudian mencari definisi sepadan menjadi sangat sulit bagi kami. Dan temanku tersayang yang pertama kali melontarkan bahwa mungkin aku bukan untuk lelaki itu dan dia bukan untuk aku. Berhari-hari aku mencari jawaban. Apakah tesis itu benar adanya? Semua yang aku tanya rata-rata menjawab demikian. Terlebih lagi kakak ipar lelakiku. Lelaki itu tidak pantas untukku. Entah mengapa ada satu sisi nuraniku yang mengatakan itu tidak benar. Apakah kalau aku lulusan sarjana sementara calon suamiku hanya lulus diploma satu, menjadikan kami tidak serasi satu sama lain? Apakah dengan kewajibannya secara ekonomi terhadap keluarga menjadikannya tidak pantas untukku? Lalu bagaimana dengan Muhammad? Apakah ia tidak layak untuk Khadijah? Hanya karena Muhammad seorang lelaki miskin? Mungkin aku yang terlalu naif atau temanku yang realistis. Aku tidak tahu. Mungkin orang bilang aku gila. Tapi aku tidak bisa menafikan satu suara yang mengatakan bahwa semua itu atribut dunia yang sifatnya relatif, serba tidak pasti, dan sementara. Dan aku tidak ingin keputusanku aku sandarkan pada hal-hal yang aku pikir tidak sesuai dengan orientasiku. Kampung akhirat. Akhirnya kami mendapatkan kesimpulan yang bertolak belakang. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menikahi lelaki itu. “Jadi aku berhak mendapatkan yang terbaik, sementara dia nggak? Seorang residivis pun berhak, kau tau?!” tangkisku sewot. Sementara di ujung telepon, suara khawatir temanku terdengar semakin perlahan. “Aku pengen kamu mendapat yang terbaik. Itu aja,” ujarnya putus asa.
“Ya, aku mengerti,” lirihku. “Aku hanya merasa aku bukan apa-apa. Tidak pantas aku minta yang terbaik. Aku sudah curhat sama Allah, dan aku hanya menemukan jawaban ini. Doakan aku ya. Semoga ini benar-benar keputusan dari Allah. Semoga ini yang terbaik.” Kalimat itu yang terakhir aku ucapkan kepadanya. Pagi agung, saat sebuah janji nikah diucapkan lelaki itu di depan ayahku. Sebutir air mata jatuh dari bening mata temanku. Tapi bibirnya membentuk senyum untukku. Doakan aku, sayang… doakan aku, bisikku. al Birrutebarkebaikan@yahoo.com

Titik Kelminasi

Rumah besar itu berdiri megah di pinggir jalan yang cukup ramai oleh orang berlalu lalang di depannya. Di halamannya, ditumbuhi pohon mangga jenis golek yang bentuk buahnya mirip bujangan yang sedang tidur tergolek. Norak! Mungkin begitu komentar orang-orang yang lewat melihat cat bangunan itu yang berwarna-warni, hijau, coklat dan merah muda berbaur tak menentu, lebih-lebih pagarnya yang dicat belang-belang mirip zebra.
Rumah itu milik Pak Kirno yang sangat kesohor di daerah itu. Orang-orang menyebutnya Pak Kirno, yang tak lain merupakan kependekan dari ‘pikiran porno’. Pak Kirno tergolong seniman patung kelas ‘panas’, karenanya dia sering dapat pesanan bikin patung-patung wanita berpakaian mesum atau patung wanita tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Pak Kirno biasanya bikin patung seukuran manusia dengan wajah dan tubuh mirip artis-artis sinetron. Tercatat selebritis lokal yang pernah dibikin prototipe patungnya seperti, Mariam Belicak, Sampah Sarari, Yunia Asara, Jutek Kekeh.
Bukan Pak Kirno kalo nggak bertingkah nyeleneh. Menurutnya itu sah-sah saja, karena bagian dari seni keindahan. Tapi apapun alasannya, Pak Kirno adalah seorang lelaki berotak ngeres, bukan seniman. Bahkan konon kabar burung, istri satu-satunya mati bunuh diri, gara-gara stress nggak pernah ‘disentuh’inya selama dia menikah. Pak Kirno hanya sibuk mengelus-elus patungnya, sementara istrinya yang sewaktu menikah sudah halim eh, maksudnya hamil duluan, telah melahirkan seorang putri, yang diberi nama Mutia Sukirno. Mutia atau yang biasa dipanggil Tia, di saat tumbuh menjadi remaja, muncul keinginannya untuk tampil apa adanya, maksudnya tampil los polos, seperti patung-patung bikinan bapaknya. Tia ingin diakui bahwa dirinya memang ‘benar-benar’ wanita padahal sejak lahir memang sudah wanita 1000%. Rasanya belum terbukti sebagai wanita kalau belum bisa menampilkan ‘apa-apa’ seperti Claudia Schifer atau Madona yang khas wanita. Apanya yang khas? Hanya dia dan orang-orang berkepala cabul yang hobbi membahasnya. Tia pusing tujuh keliling karena di daerahnya saat ini mulai hidup ghirah Islam yang makin hot. Si Emen dan remaja Muslim mulai menyuarakan Islam di daerah tersebut. Islam memang sudah menjadi agama mayoritas di daerah itu, meskipun yang dibumbui tentang Islam baru seputar khitanan sampai pada hari-hari peringatan keislaman. Si Emen udah menyampaikan dakwah wa bil khusus di kalangan remaja untuk terikat kepada hukum Islam dalam kesehariannya. Dari situlah mulai remaja hingga tetua di kampung tersebut, mulai sepakat untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya pengatur interaksi antar mereka.Jelas, kondisi ini membikin Tia gerah, ruang geraknya seakan makin dipersempit, padahal ia ingin unjuk gigi terhadap hal-hal penting yang dia ‘punya’. Apa itu yang dia ‘punya’? Lagi-lagi hanya dia dan orang-orang berkepala cabul yang hobbi membahasnya. Berkali-kali Emen dalam ceramah umumnya mengaiak remaja putri untuk mengenakan jilbab dan mewanti-wanti agar menjauhi pornografi apalagi melakukan aksi porno. Pada bagian ceramahnya beliau mengatakan, ‘Bagi seorang Muslimah sudah dianggap Porno apabila menampakkan sehelai rambutnya kepada pria yang bukan mahramnya, karena aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan”. Nggak tanggung-tanggung, beliau juga mengkritik abis, jilbab yang masih beraroma porno, misal kerudungnya rapi tapi pakai celana panjang yang lekukannya bisa bikin orang berotak cabul bergelegak. ‘Sesuai dengan firman Allah SWT agar busana luar wanita tidak porno maka seorang Muslimah wajib memakai kerudung khimar (OS. An Nuur.- 31) dan jilbab yaitu jubah atau baju kurung terusan sampai menutupi mata kakinya (QS. Al Ahzab: 59).”, demikian tandas Emen mantap, mengutip tafsir Ibnu Katsir.
Pak Kirno dari dulu emang sudah bersikap apriori terhadap Emen, lebih-lebih kalo berbicara soal Islam. Dia minta anaknya, Tia, agar jangan sampai dekat dengan remaja-remaja yang terkena sihir Emen. Padahal hampir semua remaja putri disitu, udah mengenakan jilbab, sehingga Tia sendiri gaulnya dengan anak gedongan yang sukanya ngelayap di kafe ke kafe, ngedugem di diskotek. Walhasil, Tia dewasa adalah seorang pengekor kebebasan kelas berat, bisa dikatakan sangat sulit untuk menerima kebenaran tentang Islam.Pak Kirno sebagai ortunya, sangat khawatir kalau sampai anaknya ikut ikutan pakai jilbab yang menurutnya seperti karung dan jauh dari nilai seni, maka nanti nggak akan bisa gaul dan jauh dari sifat modern. Padahal justru wanita yang nggak menutupi tubuhnya dengan jilbab adalah primitif, seperti suku yang sekarang masih pake koteka. ‘Kamu harus jadi diri sendiri Nak”, begitu nasehat konyolnya kepada putrinya. Tia OK aja. Kini Tia menemukan dirinya dengan meniru berpenampilan hm..hm.. seperti artis-artis di film bay watch, beverly hills, danwson creek. Tiga bulan berlalu sejak Tia memproklamirkan dirinya anti jilbab. Pagi itu gempar. Beberapa headline surat kabar daerah itu memberitakan tentang percobaan pemerkosaan terhadap Mutia Sukirno, putri tunggal Pak Kirno. Tia berhasil diselamatkan oleh tim ronda malam itu dari tiga pria bertopeng yang nyaris memperkosanya. Tangan dan muka Tia memar karena menerima perlakuan keras. Dia shock, matanya sendu dibayangi trauma yang sangat mencekam. Sementara itu, Pak Kirno duduk termangu memandangi patung-patungnya tanpa gairah. Inilah titik kulminasi bagi dirinya. Di saat dirinya mendewakan kebebasan berekpresi lewat seni patung, dan anak semata wayangnya mengaktualisasikan dalam perbuatan, maka tibalah dia menuai hasil semuanya. Waallahualam bis showab

Dari Gelap menuju Cahaya

Dari Gelap Ke Cahaya
Kalau buah pinang dibelah dua apalagi buah pier tentu tidak akan mirip dengan mereka berdua, dan sebaliknya andai mereka yang dibelah menjadi dua tentu tidak akan serupa dengan pinang. Setiap mata melihatnya akan menyangka bahwa mereka adalah saudara kembar bahkan kembar siam, meski sebenarnya mereka tidak punya hubungan keluarga sedikitpun. Hanya kebetulan saja mereka sama-sama bersekolah di SMU itu. Bukan hanya karena kemiripan itu yang membuat mereka ngetop, melainkan karena mereka berdua sebagai macan alias makhluk cantik yang langka dan terkenal di seantero kota. Namun saat ini, semenjak mereka menghuni kelas dua ada perbedaan yang mencolok antara keduanya, walau sifat macannya masih tetap nempel. Yang satu makin berkibar dengan tingkahnya sebagai makhluk yang mengobral kecantikannya, sedangkan yang lain tampil menjadi gadis lembut penuh kharisma dengan jilbabnya yang syari dan beradab meski tidak sedikit yang menganggapnya terlalu idealis.
Dialah Mita dan Mira yang pernah ‘mengangkat’ nama sekolahnya ketika mereka terpilih menjadi siswi parit (paling favorit) saat kelas satu. Kalau ingat waktu itu Mira mengusap mukanya sambil mengucap istighfar yang setulusnya. Masih terbayang saat melintas di atas pentas dengan pakaian minimnya yang ketat dari busana terkenal macam Calvin Klein dan Donna Karan yang dipadu dengan langkah gemulai dengan dibumbui sedikit kerling adem dan senyum rada nakal.Mita yang punya nama lengkap Farahamita Sadi saat ini semakin merajalela sebagai siswi favorit lebih-lebih setelah pengunduran diri Mira yang dulu pernah menjadi pesaing beratnya. Tiga hari yang lalu dia mendapat bonus dari sebuah penerbitan majalah remaja setelah berhasil tampil syur dalam cover majalah itu yang makin ‘menyulut’ gelora penggemarnya, dan banyak menerima ucapan selarnat dari teman-temannya, serta beberapa dewan guru. Memang, tampilnya Mita sebagai parit tidak lepas dari dukungan para bapak di sekolah itu yang menganggap Mita sebagai siswi berprestasi yang mampu membawa nama sekolahnya Untuk tetap menjaga popularitasnya. Mita telah pasang kuda-kuda dengan memilih pakaian dan asesorinya yang bisa bikin orang yang melihat mengenangnya dalam khayalan nakalnya. Di depan cermin itu Mita sedang memoles mukanya, dan tiba-tiba ingat Mira, “Mira kau itu idealis aneh dan rada goblok. Membuang-buang kesempatan dan memilih masa depan suram. Nggak habis pikir masa gadis favorit macam kamu tiba-tiba tenggelam dan ngumpet dalam jilbab, kan lucu”, gumamnya mendesah sambil mencibiri cermin seraya menyemprotkan Drakkar Noir ke seluruh tubuhnya.Sementara itu, hari masih sore, Mira baru saja selesai shalat ashar dan duduk di beranda tengah mempelajari ulumul hadist. Mira yang di KTP-nya tertulis Mirania Puspita itu semenjak memilih jilbab telah mengubahnya menjadi muslimah yang senantiasa mempelajari dan mengamalkan Islam dalam hidupnya bahkan inilah idealismenya. Dia ingin menghapus masa hitamnya dulu dengan cercah Islam yang kini digelutinya. Kini dia tampil sangat beda dengan sewaktu kelas satu dulu, dia kini tampak mulai dewasa, sopan dan penuh dengan akhlaq Islami meski umurnya baru 16 tahun. Sikapnya terhadap teman-temannya sangat menyenangkan, dia selalu mengajak temannya untuk bersama-sama belajar dan mengamalkan Islam, bahkan Mita pernah diajaknya untuk memakai jilbab yang dibalas dengan tawa cekikikan oleh Mita. Selesai membaca ulumulhadist dia ingat Mita, “Mita kapankah kamu akan sadar dan kembali pada aturan Islam. Tidak sadarkah kamu bahwa Allah dan Rasul-Nya melaknat dan mengancam dengan azab pedih bagi orang macam kamu?”, ucapnya dalam hatinya seraya beranjak ke kamarnya mempersiapkan diri untuk shalat maghrib.
Hari itu di sekolah ada ramai-ramai, bukan hajatan sunatan sebab semuanya sudah pada selesai disunat, melainkan ada pentas pemilihan Siswi Favorit II yang diprakarsai oleh Mita. Kelihatannya sekolah ingin tetap menjadi pemegang piala sebagai sekolah yang berpenghuni siswi favorit dengan cara mempersiapkan kader-kader baru pengganti dan penerus jejak Mita khususnya bagi siswi kelas satu. Tidak kurang dari 10 juta yang dianggarkan untuk acara tersebut, dan dana sebesar itu diproleh dari sekolah dan bantuan dari dewan kesenian daerah (dkd) di kota itu, karena mereka menganggap acara begini termasuk acara seni. Beberapa pimpinan sekolah dan tiga orang wakil dari dewan kesenian daerah serta beberapa undangan terhormat hadir pada acara miss univers lokal itu, bahkan acara ini di buka secara resmi oleh wakil pimpinan daerah yang ditempatkan di aula sekolah. Gadis-gadis belia itupun mulai beraksi di atas pentas yang disambut dengan gemuruh applus dan suit yang membahana di ruang itu.
Sementara itu Mira bersama teman-temannya yang anti acara itu masuk ke mushalla sekolah untuk shalat dhuha sekaligus mendengarkan ceramah Emen, yang juga diikuti anak-anak cowok. Saat terdengar hingar dan aula sekolah, Mira bersama temannya menadahkan do’a dengan wajah pekat, “Ya Allah, hancurkan kemunkaran ini!”.
Emen pun mewejangkan kepada forum kajian dhuha pagi itu. “teman-teman kita, yang terpedaya dengan pesona kecantikan, kemewahan. Sejatinya mereka sedang memuja ketiadaan. Sebab kaya, cantik, pinter, kalo melupakan Allah dan aturan-Nya, sama saja dengan menuju jurang kebodohan. Kepribadian yang mereka agungkan, manalah buktinya dan apa standarnya. Jika ukurannya kepribadian bangsa kita, yang ternyata bangsa yang penakut dengan Amerika, bangsa pengibul rakyat dengan memperkaya diri sendiri, bangsa yang plin-plan dalam pergaulan internasional, maka itulah kepribadian yang sekarang dikejar oleh mereka yang melombakan kepribadian lewat kontes-kontesan”

Karena Niatku

"Ucapkanlah kalimat basmalah terlebih dahulu, kemudian'bacalah'. Resapilah makna yang terkandung di dalamcerpen ini."
"Sebel..!!!!", teriak Delima, siswi SMU kelas 2 yang baru saja menerima rapor cawu 2. Dilihatnya berkali-kali nilai rapor yang berada di genggaman tangannya, tetapi tetap saja menunjukkan angka yangsama. Nomor peringkat kelas yang tercantum di rapornyatetap menunjukkan angka 2. Delima betul-betul tidak merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Rasa iri, dengki, marah, jengkel, sekaligus rasa ingin tahu bercampur aduk dalam hati dan pikirannya."Hai, Del! Kok bengong aja? Lagi mikirin apa, sih?", tanya Viras tiba-tiba. Cowok gaul yang satu ini memang paling suka menyapa Delima."Gue lagi sad, nih. Nilai rapor gue jelek.", jawabnya singkat."Memangnya kamu dapet peringkat berapa?" "2""Haaah? Peringkat 2? Bujur busyet!! Pinter banget loe! Mestinya loe bersyukur. Coba lihat gue. Meskipun Cuma peringkat 5, gue masih hepi-hepi aja, tuh.", sambung Viras sambil berusaha membesarkan hati Delima."Elo sih enak. Dari peringkat sembilan langsung naik ke peringkat lima. Lha gue? Ditengah hepi-hepinyaduduk di peringkat 1, tiba-tiba saja ada yangmenggusur gue ke peringkat 2.", keluh Delimamengungkapkan perasaan jengkelnya."Kira-kira, siapa murid misterius yang berhasilmenggeser kedudukan terhormatmu, ya?", tanya Viras."Au'ah, gelap!", ungkap Delima dengan ketusnya.Tiba-tiba saja, Seorang ukhti berhijjab putih berlarimelewati hadapan Viras dan Delima sambil membawatasnya. Bibirnya menampakkan senyum yang luar biasa.Namun pipinya nampak merah dan matanya berkaca-kaca.Beliau sudah berusaha menutupi wajahnya yang bahagiadengan tangannya yang mungil, tetapi masih terlihatjuga. Dialah Nadhifa. Siswi manis pindahan dariBontang, Kalimantan Timur."Ngapain si alim itu? Raut mukanya aneh.Jangan-jangan….", Viras berusaha menduga-duga."Jangan-jangan dia adalah murid misterius yang kamubilang tadi.", sambung Delima dengan cepatnya. "Baik!Akan kulabrak si culun itu sekarang juga!", lanjutnyasambil memasang ancang-ancang untuk mengejar Nadhifa."Tunggu, Delima!", cegah Viras sambil menarik lenganbaju Delima. "Jangan sekali-kali kamu mencegahlangkahnya menuju ke tempat mulia.""Ha? Apa maksudmu?""Coba lihat ke arah mana Nadhifa berlari.", pintaViras. Kali ini dengan lebih tegas. "Dia berlari kearah Masjid As-Salam. Pikirkanlah tentang apa yanghendak dilakukannya di sana. Mungkin saja dia hendaksujud syukur kepada Allah karena mendapat nilai yangbagus. Delima, renungkanlah lagi tentang apa yanghendak loe perbuat."Mendengar perkataan Viras, hati Delima sempat tergugahsekaligus merasa bingung. Viras, si gaul yang korakdan tidak pernah melangkahkan kakinya ke masjid barupertama kali ini mengatakan hal yang luar biasa.Tapi…,"Enggak lah yau! Gue tetep mau ngelabrak dia!Gue tunggu deh! Sampe' dia keluar dari masjid."Lima belas menit berlalu. Delima masih bersi kerasmenunggu Nadhifa. Walaupun panas mentari menyengatkulit, niat buruk tetap saja sahabat setan."Aduuh! Panas banget nih, Del. Kita tunggu di dalamkelas saja, yuk.", keluh Viras yang masih berusahamenemani Delima."Enggak! Enggak! Enggak! Pokoknya enggak! Gue masihmau nunggu di sini.", protes Delima."Tapi, Del..", Viras berusaha mengelak."Sudahlah! Ngikut gue aja!", pinta Delima.Di tengah-tengah perdebatan mereka, pemikiran Virassudah mulai berubah. Dia sudah mulai bisa membedakansiapa yang baik dan siapa yang buruk, siapa yangpantas mendapat juara 1 dan siapa yang tidak, siapayang benar dan siapa pula yang salah, siapa yangdiridhoi Allah dan siapa yang tidak. Semuanya sudahmulai bisa dijawabnya. Tampaknya, kali ini Viras lebihmembela Nadhifa."Eh! Nadhifa keluar, tuh! Ayo kejar!", teriak Delima."Tunggu!", lagi-lagi Viras mencegah Delima. "Cobalihat raut mukanya. Dia berlari dengan wajahketakutan. Mungkin saja ada sesuatu yang terjadi.""Nggak ngurus! Pokoknya gue mau ngelabrak dia.". Dikala Delima berlari, tiba-tiba langkahnya terhenti."Sebaiknya gue nunggu di sini aja, deh. Sebentar lagipasti dianya balik ke masjid lagi."."Lho? Kamu tahu dari mana?", tanya Virasterheran-heran."Pertama, karena kelihatannya dia terburu-buru, danyang kedua, karena dia tidak membawa tas. Memang nggakpasti, sih. Tapi kemungkinan besar ia akan kembali kemasjid lagi karena tasnya ia tinggal di masjid. Tadiwaktu dia pergi ke masjid, dia lari sambil membawatas, kan?", Delima berkata dengan bangga sambilmenyombongkan kecerdasannya. Sepertinya dia masihmerasa bahwa dialah yang pantas menduduki peringkatsatu."Tuh! Dhifa datang!", tunjuk Viras.Nadhifa datang dari arah kantin sekolah sambil membawasekantung pop corn. Mungkin ia hendak menyantapnya dimasjid. Tapi, mengapa harus terburu-buru?"Baik! Gue labrak sekarang!". Delima langsung berlarimenuju Nadhifa."Tunggu!!!!". Viras sudah berusaha mencegah"Memang manusia tidak pernah puas dengan apa yangpernah diperolehnya. Bahkan mereka rela berbuatmaksiat terus-menerus. Tidakkah manusia itu berpikirbahwa masih ada kehidupan setelah hari kiamat?Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka akan dihadapkanke pengadilan Allah? Sesungguhnya dunia itu hanyalahpenjara sesaat bagi orang-orang yang beriman danmerupakan Surga sesaat bagi orang-orang kafir.Sebagian manusia lebih memikirkan dunianya daripadaakhiratnya.", kata Hanif, salah satu anggota SKI kelas3 yang kebetulan sedang berada di samping Viras."Lho? Mas Hanif nyinggung Delima, ya?""Tidak. Tetapi saya memberitahu kamu. Begitulah sifatburuk orang-orang kafir. Bukalah pandanganmu, dikViras. Sepertinya kamu sudah bisa menggunakan akalmudengan benar saat ini.", ungkap Mas Hanif sambiltersenyum ramah. "Ngomong-ngomong, habis ini Dik Virasmau ke mana? Kalau ada waktu, mampirlah ke masjidbersama saya untuk menunaikan dzikkrullah dzuhur.Sebentar lagi Adzan Dzuhur berkumandang."Sebuah jawaban ikhlas sambil tersenyum malu keluardari mulut Viras yang bermuka merah ini, "Iya, deh.".^_^.Subhanallah! Untuk pertamakalinya Viras mengatakankesediaannya untuk shalat dengan mantap. Ternyatakejadian ini betul-betul mengetuk pintu hatinya. Thankyou, Allah!Sementara itu, Delima melabrak Nadhifa. Ternyataniatnya belum berubah juga. "Hei Nadhifa! Gue maungomong! Loe tuh koq nggak tau malu banget, sih?Mentang-mentang sok hebat, loe langsung menggeserkedudukan gue! Apa maksud, loe? Nantang, ya?", bentakDelima seketika. Tapi, namanya juga Nadhifa. Karenaukhti ini belum mengerti pokok permasalahannya, beliauhanya mengatakan satu hal saja,"Astaghfirullahhal'adzim!"."Tau, nggak? Kedudukanmu di sini nih masih anak baru,tahu! Belum-belum udah kurang ajar! Dasar culun!!",ledek Delima lagi. Tetapi ukhti Nadhifa masih terdiam.Beliau menunggu Delima sampai menghentikan omongannyahingga lega. Caci dan maki masih terus dilontarkanDelima dengan suara kelas. Sehingga hampir seluruhpenghuni sekolah mengetahuinya. Setelah bermenit-menitmenghina Nadhifa, Delima menghentikan perkataannya.Sepertinya beliau baru saja sadar kalau tingkah lakutercelanya itu diperhatikan oleh hampir seluruhpenghuni sekolah."Ayo ikut saya. Ada sesuatu yang menarik di lantai 4Masjid As-Salam (bagi yang belum tahu pasti penasarandeh). Kalau kamu melihatnya, Insya Allah hati danpikiranmu menjadi jernih, deh.", kata Nadhifa denganriang sambil menarik lengan Delima. Sepertinya iatidak merasakan apa-apa setelah diserbu hinaan Delima.Delima yang tadinya berapi-api, kini menjadi bingungdengan tingkah laku Nadhifa. Melihat ketergesa-gesaanNahifa mengajaknya ke masjid, akhirnya Delima nunutsaja.Sampai di lantai 1 Masjid As-salam, Nadhifa memintaDelima untuk mengambil air wudhu. Katanya, "Inipenjernihan hati, pikiran, dan badan tingkat pertamayang ingin kutunjukkan padamu.". Ternyata benar.Setelah Delima mengambil air wudhu, dirinya merasakankesegaran yang luar biasa."Gimana perasaanmu sekarang, Delima?", tanya Nadhifadengan hati-hati."Subhanallah!! Betapa nikmatnya berkah dari Allah yangmenyejukkan ini. Betul-betul membuat hati dan pikirantenang.". Delima mengungkapkan itu secaraterang-terangan dan mungkin tanpa disadarinya Nadhifalebih terkejut lagi. Baru pertamakali ini Nadhifamendengar empat suku kata yang terangkum Indah darimulut Delima. Subhanallah! Nadhifa tersenyum danmatanya berbinar-binar.Setelah mengambil wudhu, Delima mengikuti Nadhifa kelantai 4 Masjid As-Salam. Tiba-tiba langit Allah yangterik berubah menjadi sejuk. Sebuah awan putih yangtebal menutupi puncak Masjid As-Salam. Angin bertiupsepoi-sepoi. Badan delima yang basah merasakandinginnya keadaan. Subhanallah!"Bagaimana perasaanmu saat ini?", tanya Nadhifa untukkedua kalinya. Namun Delima hanya bisa menjawab dengansenyum. Beliau menyadari bahwa kata-katanya tidakcukup untuk memuji berkah dari Allah S.W.T yang sulitdiungkapkan keindahannya itu.Nadhifa mengeluarkan pop corn dari kantung plastiknya.Lalu beliau membaginya menjadi remahan-remahan kecil."Kamu mau?," tawar Nadhifa pada Delima. "Enggak, deh.Makasih.", jawab Delima sambil setengah malu-malu."Huu Ge-Er, Pop corn ini bukan buat kamu, tahu. Tapibuat mereka.", sambung Nadhifa setengah bercanda."Mereka siapa?". Setelah Delima bertanya, tiba-tibaterdengar cicitan anak-anak burung merpati di dalamsarangnya yang berada di sudut lantai 4 MasjidAs-Salam itu. Akhirnya Delima sadar juga bahwa popcorn itu memang bukan untuknya. Dan ternyata, memanginilah yang memang ingin Nadhifa tunjukkan padanya.Getar hati terasa dalam diri Delima. Delima barumenyadari bahwa Nadhifa memang lebih pantas memperolehperingkat pertama di sekolah. Hatinya begitu mulia.Tiba-tiba, Nadhifa mengganti topik pembicaraannyasadmbil memberi makan burung merpati."Eh Delima, maafkan saya atas kejadian tadi, ya? Sayamemang betul-betul kaget setelah mengetahui isihatimu. Ternyata kamu tidak menyukai saya yang telahmenggeser kedudukanmu. Mungkin memang benar katamu.Saya memang anak yang culun dan kurang ajar.", sesalNadhifa."Eeh? Koq Dhifa jadi begitu, sih? Kalau ngambek nantijadi jelek, lho. Senyum dong! Semestinya saya yangminta maaf. Afwan, ya!", jawab Delima sambil senyumselebar-lebarnya."Delima, jujur saja selama ini saya tidak pernah adaniat untuk mengalahkan siapapun. Saya adalah saya.Seorang ukhti lemah yang tidak bisa berbuat apa-apatanpa pertolongan Allah. Saya berusaha menuntut ilmukarena saya ingin mencari tahu arti saya dilahirkan didunia ini. Saya belajar Biologi karena saya ingin tahumengapa Allah SWT menciptakan makhluk hidup. Sayabelajar Kimia karena saya ingin mengetahui unsurciptaan-Nya. Saya belajar Geografi karena saya inginmengetahui keindahan Bumi ciptaan-Nya. Dan sayamempelajari ilmu-ilmu lainnya agar saya bisamengetahui rahasia kehebatan Allah SWT. Karena itulahsaya berusaha keras menuntut ilmu. Saya…". Tiba-tibaNadhifa berhenti berbicara. Nafasnya sesak danmulutnya tidak dapat mengeluarkan suara. Air matanyamengalir menyesali semuanya. Ia betul-betul merasabersalah karena telah menanamkan kesalahpahamantentang dirinya dalam diri Delima dan membuat Delimajadi memiliki sejuta prasangka buruk.Delima yang mendengar itu semua semakin merasabersalah. Delima ingin pula menitikkan air mata.Tetapi ia masih menahannya. Ia masih sanggup! Ya.Masih sanggup!Kemudian Nadhifa berusaha melanjutkan lagikalimatnya,"Sa,saya tidak pernah ingin mengalahkankamu, Delima. Saya menuntut ilmu hanya karena satuhal. Saya… ingin mencari ridho Allah Subhana waTa'ala.".Tiba-tiba Adzan dzuhur berkumandang. "Allah hu Akbar!Allah hu Akbar!!…". Kejadian tragis saat itubetul-betul tidak akan terlupakan. Meskipun tidaksetragis kehilangan sahabat, saudara, atau anggotakeluarga. Air mata Delima kali ini mengalir taktertahankan lagi. Ia menyatakan taubatnya pada waktudan tempat yang sangat indah. Rangkaian kalimatSyahadat diucapkannya. Panggilan Allah betul-betulterangkum indah. Allah hu Akbar!!Delima yang masih sedikit tegar menuntun Nadhifamenuruni tangga menuju ke lantai 3. Mereka menunaikanSholat Dzuhur berjamaah. Dan setelah Shalat Dzuhur,Viras, Delima, Nadhifa, dan Mas Hanif bertemu dilantai satu secara tidak sengaja. Terlihat Delimatidak mau melepas rukuhnya. Ia sudah memutuskan untukmemakai Jilbab karena kali ini ia betul-betul sudahmasuk Islam. Mas Hanif yang tidak sengaja melihatsosok ukhti yang baru memakai jilbab itu langsungmenahan pandangannya dan mengucap Istighfar."Alhamdulilah, akhirnya beliau masuk Islam juga." KataMas Hanif."Lho? Dari dulu Delima kan memang Islam?", tanya Virasheran."Salah! Yang Beragama Islam itu hanyalah orang-orangberiman yang mengambil Islam secara menyeluruh. Jikamereka masih mengikuti langkah-langkah setan untukberbuat maksiat, tidak menunaikan shalat atausebagainya, mereka bukanlah orang Islam.", jawab MasHanif sesuai Surat Al-Baqarah ayat 208.Mendengar pernyataan indah dari Mas Hanif, Viras jaditersipu-sipu. Tau deh, Viras kan nggak pernah sholatdengan benar."Mas, tadi koq Mas Hanif nggak melindungi Nadhifa padasaat dia dilabrak Delima, sih? Sesama Islam kan harussaling membantu.", tanya Viras."Memang benar. Sesama Islam harus saling membantu.Tapi saya sudah percaya dengan kemampuannya untukmengatasi masalahnya sendiri. Senyum adalah salah satucaranya untuk berdakwah. Kalau dia sudah mulai senyum,itu tandanya dia sudah tahu apa yang akandilakukannya. Jadi kurasa ia tidak memerlukanbantuanku.", jawab Mas Hanif."Kok Mas Hanif tahu tentang Nadhifa, sih?Jangan-jangan….""He-eh, jangan su'udzon deh. Saya bukanlah seorangikhwan pengumbar syahwat yang demen sama gayanya setanuntuk pacaran. Hati-hati kalau bicara. Nadhifa ituadik kandung saya.", jawab Mas Hanif."Haa….?". Waduh, Viras salah ngomong lagi, nih..(TAMAT)

Jujurlah Padaku

Judul lagu kali? hehe? enggak lah. Memang sih persis banget ama title song-nya ? Radja?. Tapi yang ini, isinya beda. Apa hayo? Santen, kacang hijau dan gula? Lho bubur kacang hijau dong. Hehe? Hus.. udah ah. Kok guyon terus. Yang baca lagi mantengin loh. Apa sih maksudnya? Gini sobat, masih ingat kan sejuta kisah yang udah dilewati semenjak awal 2005 ini. Kalo belum, di buletin ini kita beri sekilas kisah yang udah sama-sama kita tahu sejak awal tahun 2005 Masehi. Mereview segala yang terjadi, dengan catatan, ga untuk buka aib sesama, atau mengingat duka yang tlah lalu (halah?). Tapi, mencoba untuk melangkah ke arah yang lebih baik, lebih mulia dan ga ngulang kejelekannya. Ehem..
Buat apa sih ngenang yang lalu? Yang udah, ya udah dong!! Bener sih, yang lalu memang ga bisa kembali. Sejarah ga mungkin terulang. Kita ga akan mampu Back to the Past atau Back to the Future. Tapi seringkali, malah kita butuh yang namanya sejarah. Meski terkadang pahit untuk diingat, atau pedih untuk kembali dibuka (puitis banget toh mas..). Tapi jangan kita lupa, ga semua sejarah itu pahit. Ada manisnya juga kok (kayak yang nulis kali?hehe). Bahkan dengan tahu sejarah, kita bisa bijak dalam menjalani hidup. Contohnya? Mudah?kita ga akan bisa paham gimana susahnya kedua ortu mendidik dan membesarkan kita, kalo kita ga ngulang masa lalu. Kita juga ga akan ngerti, gimana besarnya jasa guru TK kita, yang ngajari kita saat masih kecil, susahnya minta ampyun. Sebel gitu loh?Sobat, ngerti ga, susah mana jadi guru TK ama jadi Dosen? Jawabnya, guru TK. Kenapa? Soalnya muridnya pada ga bisa nulis dan baca, kalo mahasiswa, tinggal kasih fotokopian aja udah beres. Yang mahasiswa pada mesem-mesem tuh.
Tanpa sejarah, kita ga akan paham gimana beratnya Rasulullah dan para sahabat nyebarin risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Lagi-lagi dengan kenal sejarah, hidup ini bisa bermakna. Sejarah yang bener loh. Apalagi kalo tahu soal sejarah Islam. Bakal dibuat geleng-geleng deh kita ama kisah Rasul, sahabat, dan tabi?in yang full of spirit. Ingat bro, ?walau badai menghadang, Islam kan selalu setia menjagamu.? Bukan Ada band lagi?
Sobat, mengulang tahun 2005 berarti mengenang kaledoskop tahun ini.Tentunya banyak banget fenomena yang udah kita lihat, baca atau dengar. Sayang, ga semua yang kamu denger itu bener. Reklame permen nih?hehe. Alias banyak banget loh informasi yang semestinya kita dapat, tetapi diputar-balikkan atau sengaja ditutupi. Dan ga sedikit hal penting lain, yang memang ga dipublikasikan. Kalo arti kasarnya, kita banyak banget dibohongi ama media. Atau kita termakan opini yang lagi doblow up ama media. Baik TV, radio ataupun media cetak, yang tentunya jauh dari nilai-nilai Islam. Bisa aja kita anggap suatu hal itu sesuai dengan Islam, eh ternyata setelah ditilik lebih dalam, jauh banget, bahkan nyimpang dari Islam yang udah diwahyukan oleh Allah SWT.
Nah sobat, di Islamuda kali ini, kita bakal ngasih beberapa info yang kelihatannya lama tapi baru, dan baru tapi lama. Hehe..biar yang baca pada bingung sekalian. Isinya tentang kilas balik, beberapa kejadian penting yang terjadi selama tahun 2005. Baik yang udah kita tahu maupun belum sama sekali. Kilasan ini akan nguji, apa memang bener selama ini berita yang kita terima sesuai ama fakta yang ada. Kita nerima apa adanya, atau dikibuli dengan opini. So..jujurlah padaku?Review Yuuk!!
Di awal Januari 2005, kita masih sedikit shock, setelah tragedi tsunami 26 Desember 2004 di bumi Sumatera, dan beberapa negara lain. Konon, korban tsunami yang diekspos di negeri ini, sekitar 350.000 jiwa. Padahal ga sedikit warga Aceh yang berkata, kalo nyawa yang melayang udah lebih dari setengah juta jiwa. By the way, pasca tragedi tsunami, pasukan AS dikatakan sebagai pasukan perintis bantuan untuk para korban tsunami di Aceh dan Medan. Alias yang pertama ngasih bantuan. Ga heran, kita sering lihat wajah pasukan AS lagi ngasih bantuan, sambil cengar-cengir di depan kamera TV. Padahal tahu ga, sehari setelah tsunami, negeri Arab Saudi yang notabene mayoritas muslim, udah ngirim bantuan lewat pesawat komersial, berupa kebutuhan pokok, makanan dan obat-obatan, jauh sebelum pasukan AS dan misi salibnya datang. Emang serigala berbulu sapi. Setelah banyak derita di bulan Januari, bulan Februari 2005, sebagian stasiun televisi mulai ?sadar?. Banyak diantara stasiun tersebut yang nayangin program sinetron religi. Sang pelopor, tak lain sinetron ?Rahasia Illahi?. Booming sinetron religi di bulan-bulan selanjutnya ga kebendung. Agama udah ibarat komoditi produksi film. Namun dibalik itu, sinetron-sinetron religi yang ditayangkan, ga jauh-jauh amat seputar ibadah ritual. Semacam sholat, puasa, dan zakat. Bahkan ada yang ambil tema pesugihan, dedemit, dan susuk. Belum ada tuh, sinateron yang angkat problem masalah pendidikan sekarang yang serba mahal dan ga berkualitas, terus memberi solusi dalam sistem pendidikan Islam. Apalagi perdagangan, hukum dan pemerintahan. Udah..yang ini ga kesentuh sama sekali. Padahal sebagai agama yang kaffah, Islam ga hanya sebatas ibadah ritual semata, tetapi juga ngasih garis merah kehidupan masyarakat dan negara. Lagi-lagi kita dikibuli.Di bulan Maret 2005, kita ngenang balik 81 tahun runtuhnya kekhilafahan Islam alias pemerintahan Islam, di Istambul, Turki. Tepatnya 3 Maret 1924, kekhilafahan yang kita banggakan itu telah runtuh. Memang sih, ga sedikit dari kita yang ga kenal apa tuh khilafah. Malahan sebagian yang lain, ragu, apa memang bener pemerintahan Islam ada dan eksis sempe tahun segitu. Kita cuman tahu Kulafaur Rasyidin. Selebihnya, kita geleng-geleng. Apalagi ga ada media yang menerangkan tentang pemerintahan Islam. Paling banter sih media mengatakan bahwa dulu ada kerajaan Islam. Tul kan? Maka ga heran, ingatan dan memory kita soal hal ini nyaris tak bersisa.Juni 2005, di negeri Peterpan, lagi ribut soal pro dan kontra keikutsertaan seorang Artika Sari Dewi untuk ikut kontes ratu sejagat. Pihak yang pro ngatakan kalo peran serta sang putri Indonesia, ga lain, untuk bawa misi pariwisata, kebudayaan dan ngangkat citra Indonesia di mata dunia yang kian terpuruk. Namun saat dirinya dielu-elukan sebagai duta wisata, ternyata kehadirannya di sana malah menambah potret buram negeri kita yang emang udah suram. Gimana enggak, setelah heboh ama sim suit yang ia kenakan, tersebar foto bugil Miss Artika ke seluruh dunia lewat internet dan juga dipublikasikan di banyak media. Tuh kan?Duta wisata? Give me a break?!!Agustus 2005, ?kebahagiaan? peringatan 60 tahun Indonesia ?merdeka? ga berlangsung lama. Pada bulan ini, virus flu burung alias Avian Disease, mulai nyerang ke negeri kita. Parahnya, virus ini telah bermutasi. Setelah menjadikan ayam dan babi sebagai sarangnya, sang maestro (pemain bola kali?.) mulai beralih ke tubuh manusia. WHO menyatakan, kalo tidak ditanggulangi secara cepat, pada tahun 2010, virus ini akan membunuh hingga 10 juta manusia. Hii syerem?September 2005, di Nusa Tenggara, ditemukan lebih dari 50 kasus busung lapar alias ?Marasmus kwasiorkor? yang udah njangkiti ga kurang 200 balita. Menurut banyak pihak, kasus ini ibarat fenomena gunung es yang ga tampak dimana dasarnya. Dan terbukti setelah itu, kasus yang sama jadi booming dimana-mana. Kita heran juga loh?padahal negeri ini ga habis Sumber Daya Alamnya dimakan 8 turunan, ternyata masih banyak banget saudara kita yang ga bisa makan. Masya Allah. Dasar negeri kapitalis?!!
Oktober 2005, negeri ini konon kelabakan ngadepi harga minyak dunia yang membumbung, setinggi balon udara. Akhirnya, awal Oktober 2005 pemerintah menaikkan harga BBM. Untung harga imud ga ikut naik hehe?Sebuah ironi, dimana rakyat banyak banget butuh perhatian dan harapan, pemerintah malah nambah derita rakyat dengan naiknya harga BBM. Katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hehe..boongan tuh. Naiknya BBM diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan yang lain. Ya Allah..sampe kapan kita terus dobohongi?Nopember 2005, mungkin ini sebuah hal gila, tapi memang bener-bener terjadi. Kota Cianjur yang terkenal ama slogan gerbang Marhamah-nya, tercoreng ama ulah beberapa siswa di SMA negeri yang ngelakuin perbuatan mesum di dalam kelas. Dibikin film pake handphone lagi.. Sang guru dituduh sebagai mucikari beberapa siswinya. Hal ini tentu saja menambah gelapnya sisi remaja kita, setelah VCD Bandung Lautan Api, Mahasiswa Padang, Alam Terbuka Mataram, dan VCD tanpa judul. Terus terang, fakt a aneh ini ngebikin banyak diantara kita yang ga habis pikir. Dimana sih jiwa seorang muslim sejati di remaja kita?
Sobat, hingga bulan diatas?sebenarnya masih banyak lagi deh info yang bisa kita kasih. Tapi apa mau dikata. Halaman buletin ini ga cukup. Kita bukan katalog loh. Tapi kita rasa, beberapa info tadi udah lebih dari cukup, kalo tanpa Islam sebagai iman dan aturan, hidup kita bakal semrawut dan amburadul. Faktanya, udah banyak banget di atas.Tiada Kejujuran tanpa Islam
Sobat, Allah SWT berfirman: ?Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia (Allah) sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.? (TQS. Al An?am: 17-18).Udah cukup sebenarnya, segala yang muncul di sekitar kita, layaknya telah pas dipake buat referensi. Kalo memang bener, ga ada kejujuran yang hakiki di sekitar kita. Semua masalah yang ada, pangkalnya sebenarnya diri kita sendiri, masyarakat dan negara yang ga mau nerapin Islam sebagai pedoman dan aturan. Andai kita mau noleh dikit aja pada Islam dan aturannya. Yang akan kita temukan adalah kedamaian dan kebahagiaan. Ga akan ada kebohongan AS yang ngomong dialah perintis bantuan di Aceh; dusta kenaikan BBM buat bantu pemerintah ngatasi harga minyak; pro-kontra Miss Universe; hingga VCD blue SMA Cianjur. Ck..ck..ck?
Apapun dalihnya untuk nolak aturan Islam, itu bukanlah kejujuran. Hanya semacam usaha menutupi kesalahan yang ada. Apakah itu di lingkungan masyarakat, ataupun negara. Hal ini ga jauh beda ama kita. Kita seringkali nolak kalo diajak rekan kita untuk ngaji?nah, alasan kita untuk nolak itu, bukanlah sebuah kejujuran, tetapi hanya sebuah upaya untuk nutupi kesalahan kita, tul kan?
Sobat, sebagai renungan, Allah SWT berfirman, ?Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.? (TQS. Thaha: 124).(dy)