Kamis, 24 Januari 2008

Tergeraknya Hati Wina

Akhirnya Edo memenangkan cinta Wina. Tapi perjalannya tidak semulus yang mereka harapkan. Kedatangan Wida, kakak Wina, membuyarkan impian mereka. Perang urat syarafpun terjadi antara Wina dan Wida, meski akhirnya Wina menyadari kesalahannya. Tapi kembalinya Wina juga tidak mudah, ia harus berhadapan dengan harapan Pak Han, pelatih basketnya dan juga ..... Edo !
Wina merapikan kain jilbabnya di depan kaca. Rasanya masih ada yang salah, pikirnya. Wina kembali bolak-balik keluar masuk kamar. Terus terang aja, dia kurang PD dengan penampilan barunya. Kerudung putih, kemeja lengan panjang dilapisi rompi kotak-kotak hitam putih, dan rok panjang sampai menutupi sepatu. Dibayangkannya, kru mainnya bakal shock berat. Oh, my God, no. Wina gelisah, ini bukan buat pamer, ini kewajiban. Peduli apa kata Lisa, Sisi, Uci dan ... Edo. Entah apa reaksi Edo melihat perubahan ini. Tapi aku harus siap. Whatever, I dont care. Malam tadi Edo nelpon, tapi ia sedang keluar.
Wina termenung di dalam mobil. Ia ingat keputusan yang ia buat dua hari yang lalu. Ia harus menemukan jati dirinya. Jati diri muslimah, meski dengan begitu ia harus mementahkan cinta Edo. Mungkin juga ia bakal terkucilkan dari teman-temannya. Dan ia juga bakal kehilangan kesempatan tampil sebagai kampium basket di Kobatama. Andaikan bisa, rasanya ia ingin melepaskan diri dari semua pilihan-pilihan sulit itu. Tapi itu tidak mungkin, di harus hidup dengan pilihan-pilihan sulit yang membelitnya.
Dulu, saat kakaknya memutuskan berjilbab, dia ingat reaksi teman-teman kakaknya. Ada yang mendukungnya, sebagian menyambutnya dingin, sebagian lagi celaan. Karie basket kakaknya yang cerah juga dikaramkan begitu saja. Tapi Wida tidak peduli, dia jalan terus. Toh, akhirnya kakaknya memiliki prestasi lain. Dia sempat dikirim acara pertukaran pelajar ke luar negeri. Sepulang dari sana, dia membuat tesis yang bikin orang terbengong-bengong, "Kritik Tatanan Sosial Masyarakat Barat", begitu judul karya tulis yang bikin heboh itu. Kontan kuli tinta setempat berebut mewawancarai Wida. Dengan begitu ia bisa membuktikan bahwa berjilbab bukan sesuatu yang norak. "Kamu punya masalah dengan jilbab kamu?" tanya seorang wartawan suatu ketika.
"Nggak ada, malah saya melihat orang lainlah yang menganggap jilbab itu masalah"
"Kenapa?" "Ya, mereka hanya salah paham dan kebanyakan tidak tahu makna jilbab" "Terus kalau mau pacaran gimana? Ada kesulitan teknis dong?" uber sang wartawan. "Saya bukan penganut paham pacaran, Itu malah saya kritik dalam tulisan saya". "Tapi banyak kok yang berjilbab pacaran?". "Jilbab dan pacaran dua hal yang berbeda. Dengan berjilbab tidak lantas dia sudah jadi muslimah yang benar. Abdullah bin Ubay saja suka sholat koq, tapi gimana dia?" "Maksudnya?". "Maksudnya orang yang berjilbab tadi, jilbabnya sudah benar, hanya saja dia masih berbuat maksiat" "Jadi percuma dong dia berjilbab?" "Nggak percuma, cuma itu tadi, kenapa koq masih masih melakukan perbuatan nggak benar" "Win, sudah nyampe. Ngelamun aja sih" tegur papanya yang tiap ari jadi sopir pribadinya.. Setelah cium tangan, say salam. Wina keluar dari mobil. Masih dengan keraguan ia melangkahkan kaki ke halaman sekolah. Betul saja, beberapa pasang mata memandangnya dengan sorotan kaget. Sepanjang koridor sekolah, hampir semua siswa memandangnya aneh. Tak terkecuali yang sudah berjilbab.
"Itu Wina, kan?" bisik mereka satu sama lain. Sebagian terkagum-kagum, sebagian terkaget-kaget dan merasa rugi. Rugi? Iya dong, dengan begitu mana ada kesempatan menatap wajah dan body Wina yang aduhai. Padahal itu kan hiburan gratis di tengah kesumpekan suasana belajar. Hm, ini pikiran ngeres play-playboy sekolahan. Wina terus berjalan diantara tatapan aneh siswa-siswa sampai di depan kelas. Hanya selangkah lagi kakinya menginjak ubin kelas suara keras mengagetkannya."Wina?" pekik Lisa. "Ka..kamu pakai kain kafan. Eh, jilbab?" Lisa mendadak gagap. Biasanya sih ... bisu.Wina menunduk sambil tersenyum. Senyum kemenangan.
"Aduh Win, kok bisa-bisanya sih?" masih dengan perasaan kaget Lisa membelai kain jilbabnya yang putih bersih. Teman-teman yang lain ikut ngerubung. Sebentar saja pintu kelas jadi sesak. Wina bagai alien. Ya, seperti kata Sting, "I'm The Englisman in New York" atau kata Phil Collin "It's no fun being an illegal alien" ditanya ini itu. "Win, kita nggak bisa bisa ngeceng lagi dong di PI Mall" kata Sisi dengan kenes. Kehilangan teman ngeceng, tepatnya teman buat ngutang. "Kalau ngeceng sih bisa, cuma nggap di PI Mall" Uci nyeletuk. "Ngeceng dimana? Ikutan dong" Sisi penasaran. "Di mesjid, ngecengin bedug" jawab Uci sekenanya, Sisi manyun. "Tapi Win, katanya remaja masjid cowoknya keren-keren ya?" Ih, Sisi dasar ngeceng maniak. Wina hanya tersenyum aja. Dia tahu teman-temannya bercanda.
"Win kamu nggak ikutan basket lagi dong?" tanya Yuyun. Wina menggelengkan kepala. "Udah bilang Pak ..." "Belum," jawab Wina pelan. "Edo sudah tahu Win?" tanya Lisa pelan. Anak-anak yang lain diam mendengar pertanyaan Lisa. Mereka juga menunggu jawaban Wina. Suasana hening sejenak. "Belum" lirih suara Wina. Bibirnya gemetar. Keringat dingin dirasakan mulai mengucur. Anak-anak tidak bertanya lagi. Mereka tahu ini pilihan sulit bagi Wina. Suara bel masuk membubarkan kerumunan mereka. Di dalam kelas, Wina masih menjadi perhatian. Jejaka-jejaka kelas geleng-geleng kepala. Huh, hilang sudah obat cuci mata. Siapa lagi yang bisa jadi obat cuci mata. Pak Yoyo, guru Fisika yang jenggotnya jarang-jarang itu? Huh, itu sih bukan cuci mata, tapi cuci mobil. Meski begitu ada juga yang semakin tergila-gila dengan penampilan Wina yang baru. Lebih anggun, wajahnya lebih bercahaya seperti rembulan. Oh rembulan, terimalah jamu M Kapsul, hiiiiii hiii.
Diam-diam Wina bersyukur, ternyata teman-temannya menyambut dengan ramah. Meski ada juga yang kecewa, yaitu para Casanova kelas. Biar aja, mereka memang pantas untuk dikecewakan. "Jadi kamu meninggalkan basket?" Pak Han tak percaya. Pertanyaan itu terus-terusan diulang. Wina hanya mengangguk sambil menundukkan kepala. Pak Han menarik nafas panjang. Jalan mondar-mandir, bingung. Bintang timnya keluar, buyar sudah impianya mengulang sukses merebut posisi bergengsi itu. "Win" Pak Han seperti menemukan harapan terakhir.
"Apa bisa kamu tunda keputusan itu sampai babak final nanti?". Wina mendongakan kepalanya, menatap wajah Pak Han dengan perasaan kesal. No Way, Sir! Sehari bahkan semenit, sepersekian detik pun keputusan itu tak kan kuubah.
"Tidak bisa, Pak" Jawab Wina tegas. Pak Han lemas sudah. Dia terduduk di kursi sambil memegang pinggirannya. Lalu mengurut-urut keningnya. Mungkin pusing. "Ya.... kalau itu maunya kamu, bapak tidak bisa memaksa. Itu jalan hidup kamu. Bapak harus menghormati pilihan orang lain" akhirnya Pak Han menyerah. Dia bangkit sambil mengulurkan tangan, mengajak salaman. Wina menyambutnya dari jauh, tidak menyentuh tangannya. Wina segera pamitan pada Pak Han, juga pada guru olah raga yang lain di ruangan itu. Hari pertama berjilbab beres sudah. Wina menyeka keringat segede-gede biji jagung akibat hawa panas. Dia masih berdiri dekat gerbang sekolah menanti bajaj langganannya. Edo kemana ya? Bisik hati Wina. Diam-diam ada perasaan rindu pada Edo, batinnya berjuang lagi memerangi perasaan itu.
"Win" suara bass yang khas mengejutkannya, Edo!. Wina hanya melirik sebentar, kemudian menjaga tatapannya. Duh Gusti, tolong aku! Jerit batinnya. Edo menghampirinya. Wina bergeser menjauh. "Ehm, kamu nggak bilang mau pake jilbab" Edo membuka pembicaraan, Wina diam saja. Merasa tidak ada respon, kembali Edo angkat suara. "Tapi kamu tambah cantik" pelan Edo bicara. Wina masih diam hanya dirasakannya pipinya memerah. Batinnya berjuang lebih keras lagi. "Mau saya antar pulang? Mobil saya di depan sana" Edo menawarkan diri.
"Terima kasih, nggak perlu, Saya bisa pulang sendiri" Wina menggelengkan kepala. Edo hanya garuk-garuk kepala mendengar jawaban itu. Dia bingung harus bicara apa lagi. Wina bagai patung. Hemat kata-kata, berbeda dengan seminggu yang lalu, saat mereka jalan bareng di Dufan, jejeritan diatas pontang-panting. "Ada apa Win? Kamu punya masalah" Edo penasaran. "Atau jilbab itu jadi masalah buat kita?" akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Edo. Wina makin terpuruk. Matanya dirasa basah, sapu tangannya segera disapukan ke mata.
Bajaj langgannya datang, bergegas Wina membuka pintu dan segera masuk. Sebelum Edo sempat bicara, sebelum Edo sempat menahannya. "Jalan Bang!" pinta Wina. Bajaj itu pun segera meraung menenggelamkan panggilan Edo. Di dalam Bajaj Wina terus mengusapkan sapu tangan pada matanya yang basah. Untung supir bajaj tidak tahu.
Kriiing, telepon di rumah berdering. Ragu Wina mengangkatnya meski akhirnya dilakukan juga. "Halo assalamu'alaikum" "Waalaikum salam" suara bas khas anak laki-laki itu lagi dari seberang sana. "Wina?" tanya suara itu ragu-ragu. "Win ...ini Edo. Saya perlu bicara" Edo seolah minta persetujuan.
Bicara saja" jawab Wina sambil mengontrol diri. "Maaf buat kejadian siang tadi. Mau kan maafin saya?" "Ya, saya maafin" Hening. "Saya mendukung jilbab kamu. Saya pikir nggak ada salahnya kamu berjilbab. Toh itu untuk kebaikan. Saya juga bangga pacar saya berjilbab. Oh ya Win, saya juga beliin kamu jilbab, warnanya pas buat kamu" Edo terus bicara sampai akhirnya dia sadar kalau Wina tidak bersuara, tidak mengiyakan, tidak berdehem, Diam saja. "Win, kamu masih disitu?" taya Edo. Hening. "Edo saya mau bilang ... kamu perlu tahu ..."suara Wina putus-putus. "Iya?" "Kita ... putus...!" Tak ada lagi yang bicara. Keduanya berkutat dengan perasaan dan emosi masing-masing. Itu ucapan yang mengelegar buat Edo. Andaikan ada dinamit meledak, mungkin tidak terlalu mengagetkannya. Tapi kalimat "kita putus", membuat Edo lemas di seberang sana. Buat Wina, itu kalimat mahal yang keluar dari lubuk hatinya. "Edo? Kamu .... ngerti kan?" Wina angkat suara. "Tidak,saya nggak ngerti, kenapa kamu begitu saja mengakhiri hubungan kita. It's no fair. Win. Saya perlu tahu alasan kamu" suara Edo meledak-ledak. "Win, apa salah saya? Tunjukkan saya akan perbaiki diri! Atau kamu bosan?" emosi Edo tak tertahan lagi, terus mengalir. "Kamu punya cowok baru?"
Wina diam. Sulit untuk menjelaskan hal ini kepada Edo. Ah, Edo kamu terlalu berprasangka. "Wina yang salah, kamu juga, kita semua salah" Wina menarik nafas panjang untuk menjawab. "Maksud kamu" tanya Edo heran.
"Kita seharusnya nggak berbuat begini. Kita nggak perlu menyia-nyiakan masa muda kita dengan pacaran itu... dosa. Saya tidak bosan dengan kamu, kamu teman yang baik, Do. I swear. Saya juga tidak punya cowok baru. Hanya kita nggak perlu meneruskan hubungan kita, Do. Ini buat kebaikan kita bersama, Kamu ngerti kan?". Tidak ada jawaban. "Do, bagaimanapun juga kamu tetap teman saya, saudara saya. Kita masih berhubungan, masih bisa ngobrol. Hanya bukan sebagai pacar, tapi sebagai saudara seiman" Wina menahan perasaan hatinya yang bergejolak. Semoga Edo mengerti, katanya membatin. Masih belum ada jawaban, Wina ragu, jangan-jangan Edo menutup teleponnya. "Win" akhirnya "Ya?" "Kamu picik!" gagang telepon pun dibanting dari seberang sana. Tinggal Wina yang menangis sambil memeluk gagak telepon itu. Ah, Edo kamu belum mengerti rupanya.
Setelah kejadian itu Wina tidak pernah melihat Edo. Sosok Edo lenyap dari peredaran. Bukan hanya Wina yang merasakan itu, teman-temannya juga. Mereka semula penasaran, lama-lama diam. Iya sih, ngapain juga ngorek rahasia orang lain. Usil aja, mereka baru mendegar keretakan hubungan itu dari kabar burung. Pernah sekali dua kali Wina berpapasan jalan tapi cuma melengos saja. Edo membuang muka, Wina menundukkan muka. Ada juga teman yang menasehati Wina supaya kembali pada Edo, tapi malah itu
yang dinasehati Wina. "Win" Lisa noel pundak Wina. "Hemm". "Udah denger belum?" "Udah" "Udah?denger apa?" Lisa balik penasaran. "Denger suara kamu" "Dasar" sungut Lisa. "Habis denger apa?" tanya Wina sambil membalikkan badannya pelan-pelan. Takut ketahuan guru PPKn. "Ini soal Edo" kata Lisa pelan. Wina jadi nggak penasaran lagi. "Ada apa sama Edo?" tanyanya kurang antusias. "Dia jadi liar" "Maksudnya?"
"Menurut sumber gosip yang bisa dipercaya, Edo jadi urakan, sering bolos, ngerokok di kantin, and terakhir ..." Lisa nggak nerusin. "Terakhir?" "Dia diskors gara-gara triping di kelas" Innaliwa innalihirajjiun, sambar Wina cepat. Ah, Edo, Anak manis yang pernah dia kenal dulu, mungkinkah berbuat sebodoh itu? Hanya gara-gara cinta? Sepele sekali. Bayangan Edo kembali melintas. Pelajaran PPKn hari itu terkalahkan bayang Edo. Tidak satupun yang nyangkut. Wina berjalan keluar dari kantor pos. Tiga halaman surat dia buat untuk Edo. Berat hati sebetulnya dia melakukan itu. Sama saja membuka lama. Hanya karena kewajiban menasehati saudara, Wina mengingat kembali Edo. Meski jauh di lubuk hatinya dia merasa turut bersalah. Bisa saja dia menelepon Edo dan menjelaskan segala kebodohan yang dia lakukan, tapi itu tidak dilakukannya. Khawatir pembicaraan melebar kemana-mana hingga menyinggung kembali kenangan yang sudah ditutupnya.
Seminggu kemudian, di suatu sore. Wina sedang membaca terjemah Riyadus Shalihin saat sebuah kabar duka datang. Ibu Edo menelepon, memberitahu bahwa Edo menghembuskan nafas terakhir siang tadi. Sebuah truk menghantam charade-nya dengan telak, Edo tewas seketika. Sesengukan Wina menceritakan kabar itu pada mama dan kakaknya. Malah hari segera mereka melayat ke rumah Edo.
Wina masih berdiri di dekat gundukan tanah merah itu. Harum melati, putihnya melati dan tanah yang masih basah kembali mengingatkannya pada Edo. Edo, anak lelaki yang ganteng, putih, charming dan belum mengenal jauh Islam. Wina tidak begitu tersinggung saat Edo menyebutnya 'picik', itu karena ketidaktahuan Edo akan Islam.
Sebenarnya, Edo masih bisa diselamatkan andai saja supir truk itu tidak melarikan diri dan segera membawanya ke rumah sakit. Dalam bayanga Wina, dilihatnya Edo tergeletak dalam mobil yang ringsek itu. Merintih, sementara darahnya mengalir ke mana-mana, membasahi kaos bola yang dipakainya saat itu, sedangkan suratnya tergeletak di dashboard mobil bersama beberapa butir pil Nipam. Surat itu, baru diterima Edo pagi hari sebelum kecelakaan dan belum sempat dibacanya. Wina menangis, menangis untuk kepergian Edo yang mungkin belum kembali ke jalan yang benar. Diduga kuat oleh polisi, Edo saat itu dalam pengaruh obat sehingga tidak bisa mengontrol kendaraan. Wida menarik tangan adiknya, mengajak pulang, sedangkan Lisa memeluk bahunya erat-erat. Wina masih meneteskan air mata tapi dia tidak terlalu berduka. Dia tahu, dia masih punya kakak dan teman-teman yang dia tahu tidak akan mengecewakannya. Apalagi dua hari yang lalu teman-temannya sudah bersepakat untuk ngaji seminggu sekali. Maka kepergian Edo tidak dirasakannya sebagai hal yang terlalu berat. Hanya memang, perjalanan hidup Edo yang serba singkat itu pernah mengisi memori hidup-nya.
Suasana sudah agak gelap saat mereka meninggalkan makam Edo. Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar, seperti mengajak Wina untuk bersikap tegar lagi.


Dikutip dari Permata 6/IV Juni 1996.

Tidak ada komentar: