Minggu, 20 Januari 2008

Karena Niatku

"Ucapkanlah kalimat basmalah terlebih dahulu, kemudian'bacalah'. Resapilah makna yang terkandung di dalamcerpen ini."
"Sebel..!!!!", teriak Delima, siswi SMU kelas 2 yang baru saja menerima rapor cawu 2. Dilihatnya berkali-kali nilai rapor yang berada di genggaman tangannya, tetapi tetap saja menunjukkan angka yangsama. Nomor peringkat kelas yang tercantum di rapornyatetap menunjukkan angka 2. Delima betul-betul tidak merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Rasa iri, dengki, marah, jengkel, sekaligus rasa ingin tahu bercampur aduk dalam hati dan pikirannya."Hai, Del! Kok bengong aja? Lagi mikirin apa, sih?", tanya Viras tiba-tiba. Cowok gaul yang satu ini memang paling suka menyapa Delima."Gue lagi sad, nih. Nilai rapor gue jelek.", jawabnya singkat."Memangnya kamu dapet peringkat berapa?" "2""Haaah? Peringkat 2? Bujur busyet!! Pinter banget loe! Mestinya loe bersyukur. Coba lihat gue. Meskipun Cuma peringkat 5, gue masih hepi-hepi aja, tuh.", sambung Viras sambil berusaha membesarkan hati Delima."Elo sih enak. Dari peringkat sembilan langsung naik ke peringkat lima. Lha gue? Ditengah hepi-hepinyaduduk di peringkat 1, tiba-tiba saja ada yangmenggusur gue ke peringkat 2.", keluh Delimamengungkapkan perasaan jengkelnya."Kira-kira, siapa murid misterius yang berhasilmenggeser kedudukan terhormatmu, ya?", tanya Viras."Au'ah, gelap!", ungkap Delima dengan ketusnya.Tiba-tiba saja, Seorang ukhti berhijjab putih berlarimelewati hadapan Viras dan Delima sambil membawatasnya. Bibirnya menampakkan senyum yang luar biasa.Namun pipinya nampak merah dan matanya berkaca-kaca.Beliau sudah berusaha menutupi wajahnya yang bahagiadengan tangannya yang mungil, tetapi masih terlihatjuga. Dialah Nadhifa. Siswi manis pindahan dariBontang, Kalimantan Timur."Ngapain si alim itu? Raut mukanya aneh.Jangan-jangan….", Viras berusaha menduga-duga."Jangan-jangan dia adalah murid misterius yang kamubilang tadi.", sambung Delima dengan cepatnya. "Baik!Akan kulabrak si culun itu sekarang juga!", lanjutnyasambil memasang ancang-ancang untuk mengejar Nadhifa."Tunggu, Delima!", cegah Viras sambil menarik lenganbaju Delima. "Jangan sekali-kali kamu mencegahlangkahnya menuju ke tempat mulia.""Ha? Apa maksudmu?""Coba lihat ke arah mana Nadhifa berlari.", pintaViras. Kali ini dengan lebih tegas. "Dia berlari kearah Masjid As-Salam. Pikirkanlah tentang apa yanghendak dilakukannya di sana. Mungkin saja dia hendaksujud syukur kepada Allah karena mendapat nilai yangbagus. Delima, renungkanlah lagi tentang apa yanghendak loe perbuat."Mendengar perkataan Viras, hati Delima sempat tergugahsekaligus merasa bingung. Viras, si gaul yang korakdan tidak pernah melangkahkan kakinya ke masjid barupertama kali ini mengatakan hal yang luar biasa.Tapi…,"Enggak lah yau! Gue tetep mau ngelabrak dia!Gue tunggu deh! Sampe' dia keluar dari masjid."Lima belas menit berlalu. Delima masih bersi kerasmenunggu Nadhifa. Walaupun panas mentari menyengatkulit, niat buruk tetap saja sahabat setan."Aduuh! Panas banget nih, Del. Kita tunggu di dalamkelas saja, yuk.", keluh Viras yang masih berusahamenemani Delima."Enggak! Enggak! Enggak! Pokoknya enggak! Gue masihmau nunggu di sini.", protes Delima."Tapi, Del..", Viras berusaha mengelak."Sudahlah! Ngikut gue aja!", pinta Delima.Di tengah-tengah perdebatan mereka, pemikiran Virassudah mulai berubah. Dia sudah mulai bisa membedakansiapa yang baik dan siapa yang buruk, siapa yangpantas mendapat juara 1 dan siapa yang tidak, siapayang benar dan siapa pula yang salah, siapa yangdiridhoi Allah dan siapa yang tidak. Semuanya sudahmulai bisa dijawabnya. Tampaknya, kali ini Viras lebihmembela Nadhifa."Eh! Nadhifa keluar, tuh! Ayo kejar!", teriak Delima."Tunggu!", lagi-lagi Viras mencegah Delima. "Cobalihat raut mukanya. Dia berlari dengan wajahketakutan. Mungkin saja ada sesuatu yang terjadi.""Nggak ngurus! Pokoknya gue mau ngelabrak dia.". Dikala Delima berlari, tiba-tiba langkahnya terhenti."Sebaiknya gue nunggu di sini aja, deh. Sebentar lagipasti dianya balik ke masjid lagi."."Lho? Kamu tahu dari mana?", tanya Virasterheran-heran."Pertama, karena kelihatannya dia terburu-buru, danyang kedua, karena dia tidak membawa tas. Memang nggakpasti, sih. Tapi kemungkinan besar ia akan kembali kemasjid lagi karena tasnya ia tinggal di masjid. Tadiwaktu dia pergi ke masjid, dia lari sambil membawatas, kan?", Delima berkata dengan bangga sambilmenyombongkan kecerdasannya. Sepertinya dia masihmerasa bahwa dialah yang pantas menduduki peringkatsatu."Tuh! Dhifa datang!", tunjuk Viras.Nadhifa datang dari arah kantin sekolah sambil membawasekantung pop corn. Mungkin ia hendak menyantapnya dimasjid. Tapi, mengapa harus terburu-buru?"Baik! Gue labrak sekarang!". Delima langsung berlarimenuju Nadhifa."Tunggu!!!!". Viras sudah berusaha mencegah"Memang manusia tidak pernah puas dengan apa yangpernah diperolehnya. Bahkan mereka rela berbuatmaksiat terus-menerus. Tidakkah manusia itu berpikirbahwa masih ada kehidupan setelah hari kiamat?Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka akan dihadapkanke pengadilan Allah? Sesungguhnya dunia itu hanyalahpenjara sesaat bagi orang-orang yang beriman danmerupakan Surga sesaat bagi orang-orang kafir.Sebagian manusia lebih memikirkan dunianya daripadaakhiratnya.", kata Hanif, salah satu anggota SKI kelas3 yang kebetulan sedang berada di samping Viras."Lho? Mas Hanif nyinggung Delima, ya?""Tidak. Tetapi saya memberitahu kamu. Begitulah sifatburuk orang-orang kafir. Bukalah pandanganmu, dikViras. Sepertinya kamu sudah bisa menggunakan akalmudengan benar saat ini.", ungkap Mas Hanif sambiltersenyum ramah. "Ngomong-ngomong, habis ini Dik Virasmau ke mana? Kalau ada waktu, mampirlah ke masjidbersama saya untuk menunaikan dzikkrullah dzuhur.Sebentar lagi Adzan Dzuhur berkumandang."Sebuah jawaban ikhlas sambil tersenyum malu keluardari mulut Viras yang bermuka merah ini, "Iya, deh.".^_^.Subhanallah! Untuk pertamakalinya Viras mengatakankesediaannya untuk shalat dengan mantap. Ternyatakejadian ini betul-betul mengetuk pintu hatinya. Thankyou, Allah!Sementara itu, Delima melabrak Nadhifa. Ternyataniatnya belum berubah juga. "Hei Nadhifa! Gue maungomong! Loe tuh koq nggak tau malu banget, sih?Mentang-mentang sok hebat, loe langsung menggeserkedudukan gue! Apa maksud, loe? Nantang, ya?", bentakDelima seketika. Tapi, namanya juga Nadhifa. Karenaukhti ini belum mengerti pokok permasalahannya, beliauhanya mengatakan satu hal saja,"Astaghfirullahhal'adzim!"."Tau, nggak? Kedudukanmu di sini nih masih anak baru,tahu! Belum-belum udah kurang ajar! Dasar culun!!",ledek Delima lagi. Tetapi ukhti Nadhifa masih terdiam.Beliau menunggu Delima sampai menghentikan omongannyahingga lega. Caci dan maki masih terus dilontarkanDelima dengan suara kelas. Sehingga hampir seluruhpenghuni sekolah mengetahuinya. Setelah bermenit-menitmenghina Nadhifa, Delima menghentikan perkataannya.Sepertinya beliau baru saja sadar kalau tingkah lakutercelanya itu diperhatikan oleh hampir seluruhpenghuni sekolah."Ayo ikut saya. Ada sesuatu yang menarik di lantai 4Masjid As-Salam (bagi yang belum tahu pasti penasarandeh). Kalau kamu melihatnya, Insya Allah hati danpikiranmu menjadi jernih, deh.", kata Nadhifa denganriang sambil menarik lengan Delima. Sepertinya iatidak merasakan apa-apa setelah diserbu hinaan Delima.Delima yang tadinya berapi-api, kini menjadi bingungdengan tingkah laku Nadhifa. Melihat ketergesa-gesaanNahifa mengajaknya ke masjid, akhirnya Delima nunutsaja.Sampai di lantai 1 Masjid As-salam, Nadhifa memintaDelima untuk mengambil air wudhu. Katanya, "Inipenjernihan hati, pikiran, dan badan tingkat pertamayang ingin kutunjukkan padamu.". Ternyata benar.Setelah Delima mengambil air wudhu, dirinya merasakankesegaran yang luar biasa."Gimana perasaanmu sekarang, Delima?", tanya Nadhifadengan hati-hati."Subhanallah!! Betapa nikmatnya berkah dari Allah yangmenyejukkan ini. Betul-betul membuat hati dan pikirantenang.". Delima mengungkapkan itu secaraterang-terangan dan mungkin tanpa disadarinya Nadhifalebih terkejut lagi. Baru pertamakali ini Nadhifamendengar empat suku kata yang terangkum Indah darimulut Delima. Subhanallah! Nadhifa tersenyum danmatanya berbinar-binar.Setelah mengambil wudhu, Delima mengikuti Nadhifa kelantai 4 Masjid As-Salam. Tiba-tiba langit Allah yangterik berubah menjadi sejuk. Sebuah awan putih yangtebal menutupi puncak Masjid As-Salam. Angin bertiupsepoi-sepoi. Badan delima yang basah merasakandinginnya keadaan. Subhanallah!"Bagaimana perasaanmu saat ini?", tanya Nadhifa untukkedua kalinya. Namun Delima hanya bisa menjawab dengansenyum. Beliau menyadari bahwa kata-katanya tidakcukup untuk memuji berkah dari Allah S.W.T yang sulitdiungkapkan keindahannya itu.Nadhifa mengeluarkan pop corn dari kantung plastiknya.Lalu beliau membaginya menjadi remahan-remahan kecil."Kamu mau?," tawar Nadhifa pada Delima. "Enggak, deh.Makasih.", jawab Delima sambil setengah malu-malu."Huu Ge-Er, Pop corn ini bukan buat kamu, tahu. Tapibuat mereka.", sambung Nadhifa setengah bercanda."Mereka siapa?". Setelah Delima bertanya, tiba-tibaterdengar cicitan anak-anak burung merpati di dalamsarangnya yang berada di sudut lantai 4 MasjidAs-Salam itu. Akhirnya Delima sadar juga bahwa popcorn itu memang bukan untuknya. Dan ternyata, memanginilah yang memang ingin Nadhifa tunjukkan padanya.Getar hati terasa dalam diri Delima. Delima barumenyadari bahwa Nadhifa memang lebih pantas memperolehperingkat pertama di sekolah. Hatinya begitu mulia.Tiba-tiba, Nadhifa mengganti topik pembicaraannyasadmbil memberi makan burung merpati."Eh Delima, maafkan saya atas kejadian tadi, ya? Sayamemang betul-betul kaget setelah mengetahui isihatimu. Ternyata kamu tidak menyukai saya yang telahmenggeser kedudukanmu. Mungkin memang benar katamu.Saya memang anak yang culun dan kurang ajar.", sesalNadhifa."Eeh? Koq Dhifa jadi begitu, sih? Kalau ngambek nantijadi jelek, lho. Senyum dong! Semestinya saya yangminta maaf. Afwan, ya!", jawab Delima sambil senyumselebar-lebarnya."Delima, jujur saja selama ini saya tidak pernah adaniat untuk mengalahkan siapapun. Saya adalah saya.Seorang ukhti lemah yang tidak bisa berbuat apa-apatanpa pertolongan Allah. Saya berusaha menuntut ilmukarena saya ingin mencari tahu arti saya dilahirkan didunia ini. Saya belajar Biologi karena saya ingin tahumengapa Allah SWT menciptakan makhluk hidup. Sayabelajar Kimia karena saya ingin mengetahui unsurciptaan-Nya. Saya belajar Geografi karena saya inginmengetahui keindahan Bumi ciptaan-Nya. Dan sayamempelajari ilmu-ilmu lainnya agar saya bisamengetahui rahasia kehebatan Allah SWT. Karena itulahsaya berusaha keras menuntut ilmu. Saya…". Tiba-tibaNadhifa berhenti berbicara. Nafasnya sesak danmulutnya tidak dapat mengeluarkan suara. Air matanyamengalir menyesali semuanya. Ia betul-betul merasabersalah karena telah menanamkan kesalahpahamantentang dirinya dalam diri Delima dan membuat Delimajadi memiliki sejuta prasangka buruk.Delima yang mendengar itu semua semakin merasabersalah. Delima ingin pula menitikkan air mata.Tetapi ia masih menahannya. Ia masih sanggup! Ya.Masih sanggup!Kemudian Nadhifa berusaha melanjutkan lagikalimatnya,"Sa,saya tidak pernah ingin mengalahkankamu, Delima. Saya menuntut ilmu hanya karena satuhal. Saya… ingin mencari ridho Allah Subhana waTa'ala.".Tiba-tiba Adzan dzuhur berkumandang. "Allah hu Akbar!Allah hu Akbar!!…". Kejadian tragis saat itubetul-betul tidak akan terlupakan. Meskipun tidaksetragis kehilangan sahabat, saudara, atau anggotakeluarga. Air mata Delima kali ini mengalir taktertahankan lagi. Ia menyatakan taubatnya pada waktudan tempat yang sangat indah. Rangkaian kalimatSyahadat diucapkannya. Panggilan Allah betul-betulterangkum indah. Allah hu Akbar!!Delima yang masih sedikit tegar menuntun Nadhifamenuruni tangga menuju ke lantai 3. Mereka menunaikanSholat Dzuhur berjamaah. Dan setelah Shalat Dzuhur,Viras, Delima, Nadhifa, dan Mas Hanif bertemu dilantai satu secara tidak sengaja. Terlihat Delimatidak mau melepas rukuhnya. Ia sudah memutuskan untukmemakai Jilbab karena kali ini ia betul-betul sudahmasuk Islam. Mas Hanif yang tidak sengaja melihatsosok ukhti yang baru memakai jilbab itu langsungmenahan pandangannya dan mengucap Istighfar."Alhamdulilah, akhirnya beliau masuk Islam juga." KataMas Hanif."Lho? Dari dulu Delima kan memang Islam?", tanya Virasheran."Salah! Yang Beragama Islam itu hanyalah orang-orangberiman yang mengambil Islam secara menyeluruh. Jikamereka masih mengikuti langkah-langkah setan untukberbuat maksiat, tidak menunaikan shalat atausebagainya, mereka bukanlah orang Islam.", jawab MasHanif sesuai Surat Al-Baqarah ayat 208.Mendengar pernyataan indah dari Mas Hanif, Viras jaditersipu-sipu. Tau deh, Viras kan nggak pernah sholatdengan benar."Mas, tadi koq Mas Hanif nggak melindungi Nadhifa padasaat dia dilabrak Delima, sih? Sesama Islam kan harussaling membantu.", tanya Viras."Memang benar. Sesama Islam harus saling membantu.Tapi saya sudah percaya dengan kemampuannya untukmengatasi masalahnya sendiri. Senyum adalah salah satucaranya untuk berdakwah. Kalau dia sudah mulai senyum,itu tandanya dia sudah tahu apa yang akandilakukannya. Jadi kurasa ia tidak memerlukanbantuanku.", jawab Mas Hanif."Kok Mas Hanif tahu tentang Nadhifa, sih?Jangan-jangan….""He-eh, jangan su'udzon deh. Saya bukanlah seorangikhwan pengumbar syahwat yang demen sama gayanya setanuntuk pacaran. Hati-hati kalau bicara. Nadhifa ituadik kandung saya.", jawab Mas Hanif."Haa….?". Waduh, Viras salah ngomong lagi, nih..(TAMAT)

Tidak ada komentar: